Pages

Minggu, 25 Maret 2012

CINTA KARENA ALLOH SWT

Iman adalah sesuatu yang hidup dan dinamis. Iman yang benar, keyakinan yang kuat akan mengantarkan pemiliknya merasakan halawatul iman -kelezatan dan manisnya iman-. Rasulullah saw. telah berjanji kepada siapa saja yang mampu melaksanakan tiga perkara, ia pasti akan mereguk lezatnya iman. Rasulullah saw. bersabda:
عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ قال : قال النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ : ” لا يجد أحد حلاوة الإيمان ، حتى يحب المرء لا يحبه إلا لله ، وحتى أن يقذف في النار أحب إليه من أن يرجع إلى الكفر بعد إذ أنقذه الله ، وحتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ” . رواه البخاري .
Dari Anas bin Malik ra berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: “Seseorang tidak akan pernah mendapatkan manisnya iman sehingga ia mencintai seseorang, tidak mencintainya kecuali karena Allah; sehingga ia dilemparkan ke dalam api lebih ia sukai daripada kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan darinya; dan sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya.” Imam Al Bukhari.
Penjelasan:
باب : الحب في الله : Mencintai karena Allah, tidak bercampur aduk dengan riya dan nafsu.
ولا يجد أحد حلاوة الإيمان : Seseorang tidak akan mendapatkan manisnya iman. Iman diserupakan dengan madu, karena keduanya memiliki kesamaan; Manis. Iman yang benar dalam hati akan mewujudkan rasa manis layaknya madu.
وحتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ” : Sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada selainnya.
محبة الله : إرادة طاعته ، ومحبة رسوله : متابعته : Mencintai Allah adalah dengan mentaati-Nya, sedangkan mencintai Rasulullah adalah dengan mengikutinya.
Cinta alami tidak masuk dalam bab ikhtiar (pilihan), maka yang dimaksudkan adalah cinta ‘aqli (logis) yaitu mendahulukan apa yang dikehendaki akal, dan yang menjadi pilihannya, meskipun bertentangan dengan hawa nafsu. Seperti orang sakit yang minum obat, ia mengambil dengan pilihannya, karena mengharapkan kesembuhan.
Penggunaan dhamir (kata ganti) pada kalimat سواهما selain keduanya, menunjukkan satu  kesatuan.
Karena pernah ada seorang khatib (penceramah) yang mentatsniyahkan dhamir dalam ucapannya:
ومن عصاهما فقد غوى “Dan barang siapa yang mendurhakai keduanya maka ia telah tersesat.” Seketika Rasulullah saw. menyuruhnya untuk menggunakan dhamir mufrad yaitu dengan mengucapkan:
من عصى الله فقد غوى “Barang siapa yang mendurhakai Allah maka ia tersesat. Dipisah,
من عصى الرسول فقد غوى “Dan barang siapa yang mendurhakai Rasulullah maka ia tersesat.”
Penggabungan di sini menunjukkan bahwa yang diperhitungkan adalah kumpulan dua cinta. Berbeda dengan ungkapan khatib tadi, masing-masing maksiat berdiri sendiri.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:
  1. Mencintai seseorang karena mencari ridha Allah, bukan cinta hafa nafsu dan melanggar syariat. Seperti cinta seseorang dalam ikut serta berjihad di jalan Allah, tidak untuk tujuan duniawi. Seperti cinta seseorang untuk beramal dan berjuang dalam organisasi. Dilakukan hanya untuk mencari keridhoan Allah swt
  2. Memilih dilemparkan ke dalam api daripada kembali menjadi kafir. Orang yang telah sempurna imannya tidak akan ada yang bisa merubahnya menjadi kafir lagi. Ia tidak mengingkari ajaran agama yang telah diyakini seperti shalat yang telah Allah wajibkan, tidak menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, seperti khamr, atau mengharamkan yang halal.
  3. Mendahulukan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya mengalahkan selainnya. Orang yang sempurna imannya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih kuat baginya daripada hak ayahnya, ibunya, anaknya, isterinya dan semua manusia. Karena mendapatkan petunjuk dari kesesatan, terbebaskan dari neraka hanya bisa karena Allah lewat seruan Rasul-Nya. Dan di antara ciri hal ini adalah membela Islam dengan ucapan dan perbuatan, mengamalkan syariat Islam, mengikuti sunnah dan berakhlak dengan akhlak Rasulullah saw.  Allahu a’lam


Sumber: http://www.dakwatuna.com

PEMBOIKOTAN EKONOMI

Disebutkan dalam beberapa sanad dari Musa bin ‘Uqbah dan dari Ibnu Ishaq, juga dari yang lainnya, bahwa orang-orang kafir Quraisy telah bersepakat untuk membunuh Rasulullah saw. Kesepakatan dan keputusan ini disampaikan kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib. Tetapi bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib tidak mau menyerahkan Rasulullah saw kepada mereka.
Setelah kaum Quraisy tidak berhasil membunuh Rasulullah saw, mereka sepakat untuk mengucilkan Rasulullah saw dan kaum Muslimin yang mengikutinya, serta Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib yang melindunginya. Untuk tujuan ini mereka telah menulis suatu perjanjian, bahwa mereka tidak akan mengawini dan berjual beli dengan mereka yang dikucilkan. Tidak akan menerima perdamaian dan tidak akan berbelas kasihan kepada mereka sampai Bani Muththalib menyerahkan Rasulullah saw kepada mereka untuk dibunuh. Naskah perjanjian ini mereka gantungkan di dalam Ka’bah.
Kaum kafir Quraisy berpegang teguh dengan perjanjian ini selama tiga tahun, sejak bulan Muharram tahun ketujuh kenabian hingga tahun kesepuluh. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pemboikotan tersebut berlangsung selama dua tahun saja.
Riwayat Musa bin ‘Uqbah menunjukkan bahwa pemboikotan terjadi sebelum Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya berhijrah ke Habasyiah. Bahkan perintah untuk berhijrah ke Habasyiah dikeluarkan Rasulullah saw pada saat berlangsungnya pemboikotan ini. Tetapi riwayat Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa penulisan perjanjian pemboikotan dilakukan setelah para sahabat Rasulullah saw berhijrah ke Habasyiah dan sesudah Umar masuk Islam.
Bani Hasyim, Bani Muththalib dan kaum Muslimin termasuk di dalamnya Rasulullah saw dikepung dan dikucilkan di syi’ib (pemukiman) Bani Muththalib (di Mekkah) terdapat beberapa syi’ib.
Di pemukiman inilah kaum Muslimin dan kaum kafir dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib berkumpul. Kecuali Abu Lahab (Abdul Izzi bin Abdul Muththalib) karena dia telah bergabung dengan Quraisy dan menetang Nabi saw dan para sahabatnya. Kaum Muslim menghadapi pemboikotan ini dengan dorongan agama (Islam), sementara kaum kafir mengahadapi karena dorongan fanatisme kabilah (hamiyyah).
Rasulullah saw bersama kaum Muslim berjuang menghadapi pemboikotan yang amat ketat ini selama tiga tahun. Di dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa mereka menderita kekurangan bahan makanan hingga mereka terpaksa harus makan dedaunan. As-Suhail menceritakan: Tiap ada kafilah datang ke Mekkah dari luar daerah, para sahabat Nabi saw yang berada di luar kepungan datang ke pasar untuk membeli bahan makanan bagi keluarganya. Akan tetapi tidak dapat membeli apapun juga karena dirintangi oleh Abu Lahab yang selalu berteriak menghasut, “Hai para pedagang, naikkanlah harga setinggi-tingginya agar para pengikut Muhammad tidak mampu membeli apa-apa. Kalian mengetahui betapa banyak harta kekayaanku dan aku pun sanggup menjamin kalian tidak akan merugi.“ Teriakan Abu Lahab itu dituruti oleh para pedagang, dan mereka menaikkan harga barangnya berlipat ganda, sehingga kaum Muslim terpaksa pulang ke rumah dengan tangan kosong, tidak membawa apa-apa untuk makan anak-anaknya, yang kelaparan.
Pada awal tahun ketiga dari pemboikotan dan pengepungan ini, Bani Qushayyi mengecam pemboikotan tersebut. Mereka memutuskan bersama untuk membatalkan perjanjian. Dalam pada itu Allah telah mengirim anai-anai (rayap) untuk menghancurkan lembaran perjanjian tersebut, kecuali beberapa kalimat yang menyebutkan nama Allah.
Kejadian ini oleh Rasulullah saw diceritakan kepada pamannya Abu Thalib, sehingga Abu Thalib bertanya kepadanya; “Apakah Tuhanmu yang memberitahukan itu kepadamu?“
Jawab Nabi saw; “Ya“.
Kemudian Abu Thalib bersama sejumlah orang dari kaumnya berangkat mendatangi kaum Quraisy dan meminta kepada mereka seolah-olah ia telah menerima persyaratan yang pernah mereka ajukan. Akhirnya mereka mengambil naskah perjanjian dalam keadaan masih terlipat rapi. Kemudian Abu Thalib berkata;
“Sesungguhnya putra saudaraku telah memberitahukan kepadaku, dan dia belum pernah berdusta kepadaku sama sekali, bahwa Allah telah mengirim anai-anai kepada lembaran yang kamu tulis. Anai-anai itu telah memakan setiap teks perjanjian yang aniaya dan memutuskan hubungan kerabat. Jika perkataannya itu benar, maka sadarlah kamu dan cabutlah pemikiranmu yang buruk itu. Demi Allah, kami tidak akan menyerahkan hingga orang terakhir dari kami mati. Jika apa yang dikatakannya itu tidak benar, kami serahkan anak kami kepadamu untuk kamu perlakukan sesuka hatimu.“
Mereka berkata; “Kami setuju dengan apa yang kamu katakan.“ Kemudian mereka membuka naskah dan didapatinya sebagaimana yang diberitahukan oleh orang yang jujur lagi terpercaya (Nabi saw).
Tetapi mereka menjawab; “Ini adalah sihir anak saudaramu“. Dan mereka pun semakin bertambah sesat dan memusuhi.
Setelah peristiwa ini lima orang tokoh Quraisy keluar membatalkan perjanjian dan mengakhiri pemboikotan. Mereka adalah Hisyam bin Umar bin al-haritz, Zubair bin Umayah, Muth’am bin ‘Adi, Abu Al-Bukhturi bin Hisyam, dan Zam’ah bin al-Aswad.
Orang yang pertama kali bergerak membatalkan perjanjian secara terang-terangan adalah Zuhair bin Umayah. Dia datang kepada orang-orang yang berkerumun di samping Ka’bah dan berkata kepada mereka, “Wahai penduduk Mekkah, apakah kita bersenang-senang makan dan minum, sedangkan orang-orang Bani Hasyim dan Bani Muththalib kita biarkan binasa, tidak bisa menjual dan membeli apa-apa? Demi Allah, aku tidak akan tinggal diam sebelum merobek-robek naskah yang dzalim itu.
Kemudian empat orang lainnya mengucapkan perkataan yang sama. Lalu Muth’am bin ‘Adi bangkit menuju naskah perjanjian dan merobek-robeknya. Setelah itu kelima orang tersebut bersama sejumlah orang datang kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib serta kaum Muslimin lalu memerintahkan agar mereka kembali ke tampat masing-masing sebagaimana biasa.