Pages

Senin, 23 April 2012

Hak Ibu


Kirim Print
عن أبي هريرة ـ رضي الله عنه ـ قال : جاء رجل إلى رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ فقال : يا رسول الله : ” من أحق الناس بحسن صحابتي ؟ قال : أمك . قال : ثم من ؟ قال : أمك . قال : ثم من ؟ قال : أمك . قال ثم من ؟ قال : ثم أبوك ” . رواه البخاري ومسلم . وابن ماجه
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.” (Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah)
Ada seseorang yang datang, disebutkan namanya Muawiyah bin Haydah r.a., bertanya: يا رسول الله ، من أحق الناس بحسن صحابتي :Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku? Kata الصحابة ، والصحبة adalah dua kata masdar yang memiliki satu makna yaitu: المصاحبة persahabatan.
Jawab Rasulullah saw: أمك ibumu. Dengan diulang tiga kali pertanyaan dan jawaban ini.
Pengulangan kata “ibu” sampai tiga kali menunjukkan bahwa ibu lebih berhak atas anaknya dengan bagian yang lebih lengkap, seperti al-bir (kebajikan), ihsan (pelayanan). Ibnu Al-Baththal mengatakan:
أن يكون لها ثلاثة أمثال ما للأب : من البر فقد ذكر الأب في الحديث مرة واحدة ، وكأن ذلك لصعوبة الحمل ، ثم الوضع ، ثم الرضاع ، فهذه الأمور الثلاثة تنفرد بها الأم ، وتشقى بها ، ثم تشارك الأب في التربية .
“Bahwa ibu memiliki tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya. Karena kata ‘ayah’ dalam hadits disebutkan sekali sedangkan kata ‘ibu’ diulang sampai tiga kali. Hal ini bisa dipahami dari kerepotan ketika hamil, melahirkan, menyusui. Tiga hal ini hanya bisa dikerjakan oleh ibu, dengan berbagai penderitaannya, kemudian ayah menyertainya dalam tarbiyah, pembinaan, dan pengasuhan.
Hal itu diisyaratkan pula dalam firman Allah swt., “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun –selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun–, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14)
Allah swt. menyamakan keduanya dalam berwasiat, namun mengkhususkan ibu dengan tiga hal yang telah disebutkan di atas.
Imam Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad, demikian juga Ibnu Majah, Al Hakim, dan menshahihkannya dari Al-Miqdam bin Ma’di Kariba, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
” إن الله يوصيكم بأمهاتكم ، ثم يوصيكم بأمهاتكم ، ثم يوصيكم بأمهاتكم ، ثم يوصيكم بآبائكم ، ثم يوصيكم بالأقرب فالأقرب “
“Sesunguhnya Allah swt. telah berwasiat kepada kalian tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ayah kalian, kemudian berwasiat tentang kerabat dari yang terdekat.”
Hal ini memberikan kesan untuk memprioritaskan kerabat yang didekatkan dari sisi kedua orang tua daripada yang didekatkan dengan satu sisi saja. Memprioritaskan kerabat yang ada hubungan mahram daripada yang tidak ada hubungan mahram, kemudian hubungan pernikahan. Ibnu Baththal menunjukkan bahwa urutan itu tidak memungkinkan memberikan kebaikan sekaligus kepada keseluruhan kerabat.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang ibu yang lebih diprioritaskan dalam berbuat kebaikan dari pada ayah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Imam Ahmad, An-Nasa’i, Al-Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah r.a. berkata:
سألت النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ أي الناس أعظم حقاً على المرأة ؟ قال : زوجها . قلت : فعلى الرجل ؟ قال : أمه “
“Aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw., siapakah manusia yang paling berhak atas seorang wanita?” Jawabnya, “Suaminya.” “Kalau atas laki-laki?” Jawabnya, “Ibunya.”
Demikian juga yang diriwayatkan Al-Hakim dan Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang bertanya:
يا رسول الله : إن ابني هذا ، كان بطني له وعاء ، وثدي له سقاء ، وحجري له حواء ، وإن أباه طلقني ، وأراد أن ينزعه مني : فقال : أنت أحق به ما لم تنكحي “
“Ya Rasulallah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku pernah menjadi pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku.” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama kamu belum menikah.”
Maksudnya menikah dengan lelaki lain, bukan ayahnya, maka wanita itu yang meneruskan pengasuhannya, karena ialah yang lebih spesifik dengan anaknya, lebih berhak baginya karena kekhususannya ketika hamil, melahirkan dan menyusui.


Sumber: http://www.dakwatuna.com

Al Quwwah wal Amanah

Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bagaimana pemimpin yang baik itu, melalui beberapa contoh kepemimpinan yang Allah ketengahkan dalam kitab-Nya, Al-Qur’an. Dalam QS Al-Qashash: 26, Allah SWT berfirman: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Wahai bapakku, ambillah ia (Musa) sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat (al-qawiyy) lagi dapat dipercaya (al-amin)". 
Dalam ayat tersebut, Musa as disifati memiliki dua sifat yaitu al-qawiyy (kuat) dan al-amin (bisa dipercaya). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-quwwah yang bermakna kapabilitas, kemampuan, kecakapan, dan al-amanah yang bermakna integritas, kredibilitas, moralitas.
1. Al Quwwah 
Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang lemah. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw pernah menolak permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada orang yang mampu memikulnya.”Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat dan syari’at Islam. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menelorkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan merugikan dan menyesatkan rakyatnya.
Selain harus memiliki kekuataan ‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah (kejiwaan). Kejiwaan yang kuat akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya, cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan rakyat yang dipimpinnya.
Dari sahabat Abu Hurairah, Bersabda Rasulullah, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh wa maa syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi”. HR. Muslim
2. Amanah
Amanah dalam bahasa Arab berarti memenuhi janji. Amanah diambil dari kata Al-amnu (rasa aman) lawan dari ketakutan. Amanah berarti merasa aman dari pengkhianatan.
Sedangkan secara istilah: Segala sesuatu yang harus dijaga dan ditunaikan, baik itu hak-hak Alloh seperti ibadah dan menjauhi maksiat. Maupun hak-hak sesama manusia, seperti menjaga rahasia dan menepati janji.
Dan dari Jabir ra. berkata, tatkala Nabi saw. berada dalam suatu majelis sedang berbicara dengan sahabat, maka datanglah orang Arab Badui dan berkata :Kapan terjadi Kiamat ? » Rasulullah saw. terus melanjutkan pembicaraannya. Sebagian sahabat berkata : » Rasulullah saw. mendengar apa yang ditanyakan tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakannya « . Berkata sebagian yang lain : » Rasul saw. tidak mendengar”. Setelah Rasulullah saw. menyelesaikan perkataannya, beliau bertanya:” Mana yang bertanya tentang Kiamat ?” Berkata orang Badui itu:” Saya wahai Rasulullah saw. “. Rasul saw. berkata:” Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah Kiamat”. Bertanya:” Bagaimana menyia-nyiakannya?”. Rasul saw. menjawab:” Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari)
Hadits ini sebuah peringatan dari Rasul saw. agar amanah itu diberikan kepada ahlinya. Dan puncak amanah adalah amanah dalam kepemimpinan umat. Jika pemimpin umat tidak amanah berarti kita tinggal menunggu kiamat atau kehancuran.
Ciri-Ciri Pemimpin yang tidak amanah, adalah sbb :
Pertama, pemimpin yang tidak memenuhi syarat keahlian, yaitu sebagaimana syarat pemimpin yang disepakati ulama Islam, adalah : Islam, baligh dan berakal, lelaki, mampu (kafaah), merdeka atau bukan budak dan sehat indra dan anggota badannya. 
Ciri kedua pemimpin yang tidak amanah adalah mementingkan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. 
Ciri ketiga adalah berlaku zhalim. Yang dipikirkan adalah kekuasaannya dan fasilitas dari kekuasaan itu, tidak peduli rakyat menderita dan sengsara bahkan tidak peduli tumpahnya darah rakyat karena kezhalimannya.
Ciri keempat adalah menyesatkan umat. Pemimpin yang tidak amanah akan melakukan apa saja untuk menyesatkan umat. Misalnya, dengan kekayaannya yang diperoleh secara zhalim membeli media masa untuk menjadi ‘corongnya’. Rasul saw bersabda:” “Selain Dajjaal ada yang lebih aku takuti atas umatku; yaitu para pemimpin yang sesat” (HR Ahmad).
Ciri kelima adalah membuat dan rusak dan hancur seluruh tatanan sosial masyarakat. Salah satu bentuknya adalah menjadi dominannya seluruh bentuk kemaksiatan dalam kepemimpinannya, seperti kemusyrikan, sihir dan perdukunan, zina dan pornografi, minuman keras dan Narkoba, pencurian dan korupsi, pembunuhan dan kekerasan, dll.