Pages

Rabu, 30 November 2011

Manisnya Iman

Seseorang akan merasakan manisnya iman bermula manakala di dalam hatinya terdapat rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya, manisnya akan semakin dirasakan bila seseorang berusaha untuk senantiasa menyempurnakan cintanya kepada Allah, memperbanyak cabang-cabangnya (amalan yang dicintai Allah swt.) dan menangkis hal-hal yang bertentangan dengan kecintaan Allah swt.
Apa buktinya bila seseorang telah merasakan manisnya Iman?
Buktinya, ia akan selalu mengutamakan kecintaanya kepada Allah daripada mementingkan kesenangan dan kemegahan dunia, seperti bersenang-senang dengan keluarga, lebih senang tinggal di rumah ketimbang merespon seruan dakwah dan asyik dengan bisnisnya tanpa ada kontribusi sedikitpun terhadap kegiatan jihad di jalan Allah swt. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah : 24
“Katakanlah: “Jika bapa-bapak, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Memprioritaskan kecintaan kepada Allah akan melahirkan perasaan ridha
Bila seseorang senantiasa mengutamakan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya, daripada kepentingan dirinya sendiri, maka akan lahirlah sikap ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai din-nya dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Keridhaannya itu dibuktikan dengan selalu menghadiri halaqahnya, terlibat dengan kegiatan dakwah di lingkungannya dan menginfakkan sebagian harta dan waktunya untuk kemaslahatan tegaknya agama Allah swt.

Apa yang dirasakan oleh seseorang bila ia telah ridha terhadap Allah, agama dan Rasulnya?

Pertama, Ia akan merasakan “Istildzadz at-Thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah swt., baik dalam shalatnya, tilawah Qur’annya, pakaian dan pergaulan islaminya, perkumpulannya dengan orang-orang shaleh dan keterlibatannya dalam barisan dakwah

Kedua, Ia juga akan merasakan “Istildzadz al-masyaqat”, lezatnya menghadapi berbagai kesulitan dan kesusahan dalam berdakwah. Kelelahan, keletihan, dan hal-hal yang menyakiti perasaannya akibat celaan orang karena menjalankan syariat Islam, atau bahkan mencederai fisiknya, semua itu semakin membuatnya nikmat dalam berdakwah. Semua inilah yang akan senantiasa melahirkan manisnya Iman.

“Istildzaadz at-thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah ditunjukan oleh wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun wahyu yang memerintahkan mereka untuk berhijab dan menutrup auratnya, mereka langsung meresponnya dengan senang hati dan lapang dada, tanpa merasa berat sedikitpun. Aisyah ra. yang menjadi saksi mata atas hal ini berkata :
رَحِمَ الله ُنِسَاءَ اْلاَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَاتِ لَمَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِنَّ “وَلْيَضْرِبْنَ مِنْ جَلاَ بِيْبِهِنَّ عَلَى جُيُوْ بِهِنَّ” شَقَقْنَ مُرُوْطَهُنَّ فَلْيَخْتَمِرْنَ بِهَا
“Semoga Allah merahmati wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun kepada mereka ayat “hendaknya mereka mengenakan kain panjang (jilbab) sampai ke atas dada mereka,” mereka memotong kain-kain mereka, lalu mereka menjadikan kain-kain itu sebagai penutup kepalanya
Abu Ayub Ayub Al-Anshary, ketika mendengar seruan jihad, Dalam surat At-Taubah : 41
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”

Abu Ayub berseru kepada anak-anaknya, “Jahhizuuny! Jahhizuuny!” siapkan peralatan perangku!. Anak-anaknya membujuk agar bapaknya tidak perlu berangkat untuk berjihad, karena usianya sudah udzur, cukup di wakilkan saja oleh anak-anaknya. Abu Ayyub menolak bujukan anak-anaknya seraya berkata : “ketahuilah wahai anak-anakku, yang dimaksud ayat tersebut adalah خِفَافًالَكُمْ وَثِقَالاً لٍي , ringan bagi kalian berat bagiku, beliaupun tetap berangkat dan menemukan syahidnya dalam perjalanan jihad tersebut. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Sedangkan Lezatnya kesulitan (Istildzadz al-masyaqqah) dalam dakwah dirasakan oleh Rasulullah saw., ketika beliau menghadapi ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap ajaran Islam, sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat Thaif ketika Rasulullah saw. hijrah ke sana, yaitu pada saat Nabi menyampaikan dakwahnya, mengajak mereka untuk menerima ajaran Islam, tetapi tidak ada sedikitpun sambutan baik dari para tokoh mereka, bahkan dengan nada yang sangat melecehkan dan menyakitkan, mereka menanggapi dakwah Nabi seraya berkata,
“Coba kau robek kiswah ka’bah jika engkau memang benar-benar utusan Allah.”

Yang lainnya pun turut berkomentar,
“Apa tidak ada lagi orang yang lebih pantas diutus oleh Allah selain engkau?”
Dengan penuh kesabaran dan ketabahan Rasulullah saw. menerima kenyataan pahit tersebut, beliau tetap berlapang dada dan tidak mempermasalahkan tentang penolakan dan penentangan mereka. Oleh karena itu ketika malaikat penjaga gunung Alaihissalaam menawarkan kepada Nabi, bila beliau setuju ia akan mengangkat dua buah bukit yang ada di Thaif lalu ditimpakan kepada mereka, dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah saw. menanggapinya seraya berkata,
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka kelak orang-orang (generasi) yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.”

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamroh mengibaratkan manisnya iman dengan sebuah pohon, sebagaimana firman Allah :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (Ibrahim : 24)

Yang dimaksud kalimat dalam ayat tersebut adalah kalimatul ikhlas لا اله الا الله, batang pohonnya adalah pangkal iman, cabang dan rantingnya adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dedaunannya adalah kepedulian terhadap kebajikan, buahnya adalah amal ketaatan, rasa manisnya adalah ketika memetiknya, dan puncak manisnya adalah ketika matangnya sempurna saat dipetik, disitulah sangat terasa manisnya.
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ)). (رواه البخاري ومسلم وهذا لفظ مسلم).
Dari Anas ra, dari Nabi saw. bersabda, “Tiga perkara jika kalian memilikinya, maka akan didapati manisnya iman. (Pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya. (Kedua) agar mencintai seseorang semata-mata karena Allah swt. (Ketiga), tidak senang kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah swt, sebagaimana ketidak-senangannya dilempar ke dalam api neraka.” (HR Bukhar Muslim dengan redaksi Muslim)
عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((ذَاقَ طَعْمَ الإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً)) (رواه مسلم).
Dari Al-Abbas bin Abdil Muttalib, bahwasanya ia mendengar Rasulallah saw. bersabda, “Telah merasakan lezatnya iman seseorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR. Muslim)

Hadits ini sangat agung maknanya, termasuk dasar-dasar Islam, berkata para ulama, “Arti dari manisnya iman adalah mersakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah dan Rasul-Nya, lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam hadits tersebut Rasulullah saw. menjelaskan bahwa tiga perkara bila kalian berada di dalamnya maka akan didapati manisnya iman, karena sarat mendapatkan manisnya sesuatu adalah dengan mencintainya, maka barang siapa yang mencintai sesuatu dan bergelora cintanya, maka ketika berhasil mendapatkannya, ia akan merasakan manis, lezat dan kegembiraannya. Karena itu seorang mukmin yang telah mendapatkan manisnya iman yang mangandung unsur kelezatan dan kesenangan akan diiringi dengan kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Allah swt. Dan kesempurnan itu dapat diwujudkan dengan tiga hal.

Pertama : menyempurnakan cinta kepada Allah yaitu dengan menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari yang lainnya, karena cinta kepada Allah tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang lain-Nya

Kedua : menjadikan cinta kepada Allah menjadi pangkal dari cabang cinta kepada yang lain, yaitu mencintai orang lain semata-mata karena dan untuk Allah swt., sehingga dalam mencintai ia tetap mengikuti prosedur dan mekanisme cinta yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah, misalnya tidak berkhalwat, menyegerakan akad nikah dan menghindari perbuatan yang mendekati pada perzinahan. (tidak pacaran) (QS. 24 : 30-31, 33 : 59)
Menolak segala hal yang bertentangan dengan cinta-Nya, yaitu tidak menyukai hal-hal yang bertentangan dengan keimanan melebihi ketidaksukaannya bila dirinya dilemparkan ke dalam api neraka.
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قاَلَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلِايْمَانِ :اَلاْنِفْاَقُ مِنَ اُلاِقْتَارِ ، وَإِنْصَافُ النَّاسِ مِنْ نَفْسِكَ ، وَبذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ (رواه عبد الرزاق) علقه البخاري في (كتاب الايمان)
Amar bin Yasir berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya ia merasakan manisnya keimanan, berinfak dari kekikiran, bersikap adil terhadap manusia dari dirinya, dan mengupayakan keselamatan (salam) bagi alam.” (Diriwayatkan Abdurazzaq, Bukhari mencantumkannya di kitab Al-Iman).

Hadits yang dibawakan oleh Amar bin Yasir ra. tersebut di atas, juga menjelaskan tentang tiga hal yang dapat mendatangkan manisnya iman

Pertama : berinfak secukupnya, tidak berlebihan sehingga menzalimi hak-hak yang lainnya, tapi juga tidak kikir dengan hartanya

Kedua : bersikap objektif, tidak menghalanginya untuk berbuat baik dan adil kepada manusia, walaupun ada kaitannya dengan kepentingan diri sendiri, misalnya walaupun disakiti dan dizalimi oleh seseorang, tetapi tidaka menghalanginya untuk memaafkannya dan tetap berbuat baik kepadanya

Ketiga : Menebarkan kesejahteraan kepada seluruh alam semesta, memperjuangkan sesuatu demi kebaikan manusia dan seluruh makhluk lainnya, seperti dengan melakukan kegiatan amal siasi maupun amal khidam ijtima’i (kegiatan sosial)
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ يَجِدْ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلاِيْمَانِ : تَرْكُ اْلمِرَاءِ فيِ الْحَقِّ ، وَاْلكِذْبُ فِي اْلمُزَاحَةِ ، وَيَعْلَمُ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ. (رواه عبد الرزاق)
Ibnu Mas’ud juga berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya akan merasakan manisnya iman, menghindari perdebatan dalam hal kebenaran, tidak berdusta dalam bercanda, dan menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” (Diriwayatkan Abdurrazzaq).
عن أنس مرفوعا: “لاَ يَجِدُ عَبْدٌ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ حَتىَّ يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ … ” الحديث . أخرجه ابن أبي عاصم ( 247 ) بإسناد حسن عنه. (الألباني – السلسلة الصحيحة)
Dari Anas secara marfu’ mengatakan, “Tidaklah seorang hamba merasakan manisnya keimanan sehingga dia menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” Hadits tersebut dikeluarkan Ibnu Abi Ashim, hadits sahih dengan sanad yang baik, termaktub dalam silisilah hadits sahih karya Imam Albani.
(قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ) * وَالْغَضُّ عَنِ الْمَحَارِمِ يُوْجِبُ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ، وَمَنْ تَرَكَ شَيْئًا لِلّهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ، وَمَنْ أَطْلَقَ لَحَظَاتِهِ دَامَتْ حَسَرَاتُهُ. (فيض القدير 1/677).
“Katakanlah kepada mukmin laki-laki agar menahan pandangan mereka…” (An-Nur: 30). Yaitu menahan dari apa yang diharamkan Allah swt. pasti akan mendatangkan manisnya iman, dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, dan barangsiapa yang membebaskannya walau hanya sekejap maka akan abadi penyesalannya”
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَلاَ تَجِدُ امْرَأَةٌ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا عَلَى قَتَبٍ.” (المعجم الكبير للطبراني)
Dari Muadz bin Jabal berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Seandainya aku memerintahkan seseorang bersujud kepada yang lainnya, maka akan aku perintahkan isteri sujud kepada suaminya, karena hak-hak suami atasnya, dan tidaklah seorang wanita mendapatkan manisnya iman sehingga Ia menunaikan hak suaminya, walaupun suaminya memintanya, sedang Ia sedang berada di atas sekedupnya
قاَلَ اِبْنُ رَجَبْ فِي (فَتْحِ الْبَارِي: 1/27): فَإِذَا وَجَدَ اْلقَلْبُ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ أَحَسَّ بِمَرَارَةِ اْلكُفْرِ وَاْلفُسُوْقِ وَاْلعِصْيَانِ وَلِهَذَا قَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلاَم ُ: {رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ} [يوسف33].
Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul Bari 1/27 : “Maka apabila sebilah hati telah mendapatkan manisnya iman, maka ia akan sensitif merasakan pahitnya kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, karena itulah Nabi Yusuf AS berkata : “Ya Rabb! Penjari lebih aku sukai daripada apa yang mereka serukan kepadaku” (QS. Yusuf : 33)


Materi tarbiyah, dilengkapi bahan dari situs dakwatuna.com

Selasa, 15 November 2011

BI'TSAH


Ikhtila’ (Menyendiri) Di Gua Hira’

Mendekati usia empat puluh tahun, mulailah tumbuh pada diri Nabi saw kecenderungan
untuk melakukan ‘uzlah. Allah menumbuhkan pada dirinya rasa senang untuk melakukan
ikhtila’ (menyendiri) di gua Hira’ (hira’ adalah nama sebuah gunung yang terletak di sebelah
barat laut kota Mekkah). Ia menyendiri dan beribadah di gua tersebut selama beberapa malam.
Kadang sampai sepuluh malam, kadang lebih dari itu, sampai satu bulan. Kemudian beliau
kembali ke rumahnya sejenak hanya untuk mengambil bekal baru untuk melanjutkan Ikhtila’-
nya di gua Hira’. Demikianlah Nabi saw terus melakukannya sampai turun wahyu kepadanya
ketika beliau sedang melakukan ‘uzlah.

Beberapa Ibrah

‘Uzlah dilakukan Rasulullah saw menjelang bi’tsah (pengangkatan sebagai Rasul) ini
memiliki makna dan urgensi yang sangat besar dalam kehidupan kaum Muslim pada umumnya
dan pada da’i pada khususnya.

Peristiwa ini menjelaskan , bahwa seorang Muslim tidak akan sempurna keislamannya
betapapun ia telah memiliki akhlak-akhlak yang mulia dan melaksanakan segala macam ibadah
sebelum menyempurnakannya dengan waktu-waktu ‘uzlah dan khalwah (menyendiri) untuk
mengadili diri sendiri ( muhasabbah ‘n nafsi). Merasakan pengawasan Allah dan merenungkan
fenomena-fenomena alam semesta yang menjadi bukti keagungan Allah.

Ini merupakan kewajiban setiap Muslim yang ingin mencapai keislaman yang benar.
Apalagi bagi seorang penyeru kepada Allah dan penunjuk kepada jalan yang benar.
Hikmah dari program ‘uzlah ini ialah, bahwa tiap jiwa manusia memiliki sejumlah
penyakit yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan obat ‘uzlah dan mengadilinya dalam
suasana hening, jauh dari keramaian dunia. Sombong ‘ujub (bangga diri), dengki, riya’, dan cinta
dunia, kesemuannya itu adalah penyakit yang dapat menguasai jiwa , merasuk ke dalam hati,
dan menimbulkan kerusakan di dalam bathin manusia. Kendatipun lahiriahnya menampakkan
amal-amal shaleh dan ibadah-ibadah yang baik, dan sekalipun ia sibuk dengan melaksanakan
tugas-tugas dakwah dan memberikan bimbingan kepada orang lain.

Penyakit-penyakit ini tidak dapat diobati kecuali dengan melakukan ikhtila’ secara rutin
untuk merenungkan hakekat dirinya, penciptaannya dan sejauh mana kebutuhan kepada
pertolongan dan taufik dari Allah swt pada setiap detik kehidupannya. Demikian pula
merenungkan ihwal Pencipta. Dan betapapun tak bergunanya pujian dan celaan manusia.

Kemudian merenungkan fenomena-fenomena keagungan Allah, hari akhir, pengadilan,
besarnya rahmat dan pedihnya siksaan Allah. Dengan perenungan yang lama dan berulang-ulang
tentang hal-hal tersebut, maka penyakit-penyakit yang melekat pada jiwa manusia akan
berguguran. Hati menjadi hidup dengan cahaya kesadaran dan kejernihan. Tidak ada lagi
kotoran dunia yang melekat di dalam hatinya.

Hal lain juga sangat penting dalam kehidupan kaum Muslim pada umumnya dan para
pengemban dakwah pada khususnya, ialah pembinaan mahabbatu Illah tidak akan tumbuh dari
keimanan rasio semata. Sebab, masalah-masalah rasional semata tidak pernah memberikan
pengaruh ke dalam hati dan perasaan. Seandainya demikian niscaya para orientalis sudah
menjadi pelopor orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tentu hati mereka
menjadi hati yang paling mencintai Allah dan Rasul-Nya. Pernahkah anda mendengar salah
seorang ilmuwan yang telah mengorbankan nyawanya demi keimanan kepada sebuah rumus
matematika atau masalah aljabar ?

Sarana untuk menumbuhkan mahabbatu Ilahi setelah iman kepada-Nya ialah
memperbanyak tafakur tentang ciptaan dan nikmat-nikmat-Nya. Merenungkan betapa
keagungan dan kebesaran-Nya. Kemudian memperbanyak mengingat Allah dengan lisan dan
hati. Dan semuanya itu hanya bisa diwujudkan dengan ‘uzlah , khalwah dan menjauhi kesibukan-kesibukan
dunia dan keramaiannya pada waktu-waktu tertentu secara terprogram.

Jika seorang Muslim telah melakukannya dan siap untuk melaksanakan tugas ini, maka
akan tumbuh di dalam hatinya mahabbatu Ilahiyah ynag akan membuat segala yang besar
menjadi kecil. Melecehkan segala bentuk tawaran duniawi, memandang enteng segala gangguan
dan siksaan dan mampu mengatasi setiap penghinaan dan pelecehan. Itulah bekal yang harus
dipersiapkan oleh para penyeru kepada Allah. Karena bekal itulah yang dipersiapkan Allah
kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, untuk mengemban tugas-tugas dakwah Islamiyah.
Dorongan-dorongan spiritual di dalam hati, seperti rasa takut , cinta dan harap, akan
mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh pemahaman rasional semata.

Tepat sekali asy-Syatibi ketika membedakan dorongan-dorongan ini antara kebanyakan kaum
Muslimin yang masuk ke dalam ikatan pembebanan (taklif) dengan dorongan umumnya
keislaman mereka. Dan orang-orang tertentu yang masuk ke dalam ikatan pembebanan dengan
dorongan lebih kuat dari sekedar pemahaman rasional. Berkata Asy-Syatibi :
“Kelompok pertama keadaannya seperti orang yang beramal karena ikatan Islam dan iman
mereka semata. Kelompk kedua keadaannya seperti orang yang beramal karena dorongan rasa
takut dan harap atau cinta. Orang ang takut akan tetap bekerja kendatipun terasa berat. Bahkan
rasa takut terhadap sesuatu yang lebih berat akan menimbulkan kesabaran terhadap sesuatu
yang lebih ringan, kendatipun tergolong berat. Orang yang memiliki harapan akan tetap bekerja
kendatipun terasa sulit. Harapan kepada kesenangan akan menimbulkan kesabaran dalam
menghadapi kesulitan. Orang yang mencintai akan bekerja mengerahkan segala upaya karena
rindu kepada kekasih, sehingga rasa cinta ini mempermudah segala kesulitan dan mendekatkan
segala yang jauh.”

Mencari aneka sarana untuk mewujudkan dorongan-dorongan spiritual di hati ini
merupakan suatu keharusan. Jumhur Ulama menyebutkan dengan tasawuf, atau sebagian yang
lain seperti Imam Ibnu Taimiyah menyebutnya ilmu Suluh.

Khalwah yang dibiasakan Nabi saw menjelang bi’tsah ini merupakan salah satu sarana
untuk mewujudkan dorongan-dorongan tersebut.

Tetapi maksud khalwah di sini tidak boleh dipahami sebagaimana pemahaman sebagian
orang yang keliru dan menyimpang. Mereka memahaminya sebgai tindakan meninggalkan sama
sekali pergaulan dengan manusia dengan hidup dan tinggal di gua-gua.

Tindakan ini bertentangan dengan petunjuk Nabi saw dan praktik para sahabatnya.
Maksud khalwah di sini ialah sebagai obat untuk memperbaiki keadaan. Karena sebagai obat,
maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan kadar tertentu dan sesuai dengan keperluan. Jika
tidak , maka akan berubah menjadi penyakit yang harus dihindari.

Jika anda membaca tentang sebagian orang shaleh yang melakukan khalwat secara terus-menerus
dan manjauhi manusia, maka itu hanya merupakan kasus tertentu saja. Perbuatan
mereka tidak dapat dijadikan hujjah.

Permulaan Wahyu

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. menceritakan cara permulaan wahyu, ia
berkata :
“Wahyu pertama diterima oleh Rasulullah saw dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam
mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau
digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khalwah (‘uzlah). Beliau melakukan khalwat di gua
Hira’ melakukan ibadah selama beberapa malam, kemudian pulang kepada keluarganya
(Khadijah) untuk mengambil bekal. Demikianlah berulang kali hingga suatu saat beliau
dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira’. Pada suatu hari datanglah
Malaikat lalu berkata ,“ Bacalah“. Beliau menjawab,“ Aku tidak dapat membaca.“ Rasulullah
saw menceritakan lebih lanjut, Malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku
merasa lemah sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, „Bacalah“ Aku menjawab ,“
Aku tidak dapat membaca“ . Ia mendekati aku lagi dan mendekapku, sehingga aku merasa
tidak berdaya sama sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi,“ Bacalah“ Aku
menjawab,“ Aku tidak dapat membaca.“ Untuk yang ketiga kalinya ia mendekati aku dan
memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya ia berkata lagi,“
Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan .. menciptakan manusia dari segumpal
darah...“ dan seterusnya.

Rasulullah saw segera pulang daam keadaan gemetar sekujur badannya menemui
Khadijah lalu berkata ,“ Selimutilah aku ... selimutilah aku ..“ Kemudian beliau diselimuti
hingga hilang rasa takutnya. Setelah itu beliau berkata kepada Khadijah,“ Hai Khadijah ,
tahukah engkau mengapa aku tadi begitu ?“ Lalu beliau menceritakan apa yang baru dialaminya.

Selanjutnya beliau berkata :
“Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku (dari gangguan makhluk jin )”
Siti Khadijah menjawab :
“Tidak! Bergembiralah ! Demi Allah sesungguhnya tidak akan membuat anda kecewa. Anda
seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati
tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.”

Beberapa saat kemudian Khadijah mengajak Rasulullah saw pergi menemui Waraqah
bin naufal, salah seroang anak paman Siti Khadijah. Di masa jahiliyah ia memeluk agama
Nasrani. Ia dapat menulis huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam
bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan telah kehilangan penghilatannya.

Kepadanya Khadijah berkata :
“Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak- lelaki saudaramu
(yakni Muhammad saw )“. Waraqah bertanya kepada Muhammad saw,“ Hai anak saudaraku,
ada apakah gerangan ?“ Rasulullah saw , kemudian menceritakan apa yang dilihat dan dialami
di dalam gua Hira’. Setelah mendengar keterangan Rasulullah saw Waraqah berkata :“ Itu
adalah Malaikat ynag pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya seandainya aku
masih muda perkasa ! Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir
oleh kaummu! Rasulullah saw bertanya,“ Apakah mereka akan mengusir aku?“ Waraqah
menjawab ,“Ya“ Tak seorangpun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan
diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang akan kamu hadapi itu,
pasti kamu kubantu sekuat tenagaku.“ Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dan
untuk beberapa waktu lamanya Rasulullah saw tidak menerima wahyu.

Terjadi perbedaan pendapat tentang berapa lama wahyu tersebut terhenti. Ada yang mengatakan
tiga tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat yang lebih kuat ialah apa
yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa masa terhentinya wahyu tersebut selama enam bulan.

Tentang kedatangan Jibril yang kedua, Baihaqi meriwayatkan sebuah riwayat dari Jabir
bin Abdillah, ia berkata :“Aku mendengar Rasulullah saw berbicara tentang terhentinya wahyu.
Beliau berkata kepadaku:“ Di saat aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari
langit. Ketika kepada kuangkat , ternyata Malaikat yang datang kepadaku di gua Hira’“,
kulihat sedang duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku segera pulang menemui istriku dan
kukakatan kepadanya,“ Selimutilah aku , selimutilah aku ....selimutilah aku ....! Sehubungan
dengan itu Allah kemudian berfirman : “ hai orang yang berselimut, bangunlah dan beri
peringatan. Agungkanlah Rabb-mu , sucikanlah pakaianmu, dan jauhilah perbuatan dosa ....“
(QS Al Muddatsir)
Sejak itu wahyu mulai diturunkan secara kontinyu.

Beberapa Ibrah

Hadits permulaan wahyu ini merupakan asas yang menentukan semua hakekat agama
dengan segala keyakinan dan syariatnya. Memahami dan meyakini kebenarannya merupakan
persyaratan mutlak untuk meyakini semua berita gaib dan masalah syariat yang dibawa oleh
Nabi saw. Sebab hakekat wahyu ini merupakan satu-satunya faktor pembeda antara manusia
yang berpikir dan membuat syariat dengan akalnya sendiri, dan manusia yang hanya
menyampaikan (syariat) dari Rabb-nya tanpa mengubah dan mengurangi atau menambah.

Itulah sebabnya maka para musuh Islam memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap fenomena wahyu dalam kehidupan Rasulullah saw. Berbagai argumentasi mereka
kerahkan untuk menolak kebenaran wahyu, dan membiaskan dengan ilham (inspirasi) dan
bahkan dengan sakit ayan. Ini karena mereka menyadari bahwa masalah wahyu merupakan
sumber keyakinan dan keimanan kaum Muslim kepada apa yang dibawa oelh Muhammad saw
dari Allah. Jka mereka berhasil meragukan kebenaran wahyu, maka meraka akan berhasil
menolak segala bentuk keyakinan dan hukum ynag bersumber dari wahyu tersebut. Selanjutnya
mereka akan berhasil menggembangkan pemikiran bahwa semua prinsip dan hukum syariat
yang diserukan oleh Muhammad saw hanyalah bersumber dari pemikirannya sendiri.

Untuk merealisasikan tujuan ini, para musuh Islam tersebut berusaha menafsirkan
fenomena wahyu dengan berbagai penafsiran palsu. Mereka memberikan aneka penafsiran
palsu sesuai dengan seni imajinasi yang mereka rajut sendiri.

Sebagian menggambarkan bahwa Muhammad saw terus merenung dan berpikir sampai
terbentuk di dalam benaknya, secara berangsur-angsur, suatu aqidah yang dipandangnya cukup
untuk menghancurkan paganisme (watsaniyah). Ada pula yang mengatakan bahwa Muhammad
saw belajar al-Quran dan prinsip-prinsip Islam dari pendeta bahira. Bahkan ada yamg menuduh
Muhammad saw adalah orang yang berpenyakit syaraaf atau ayan.

Bila kita perhatikan tuduhan-tuduhan naif seperti ini, maka akan kita ketahui dengan
jelas rahasia Ilahi mengapa permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah saw dengan cara
yang telah kami sebutkan dalam hadits Bukhari di atas.

Mengapa Rasulullah saw melhiat Jibril dengan kedua mata kepalanya untuk pertama
kali, padahal wahyu bisa diturunkan dari balik tabir ?

Mengapa Rasulullah saw takut dan terkejut memahami kebenarannya, padahal cinta
Allah kepada Rasulullah saw dan pemeliharaan-Nya kepadanya semestinya cukup untuk
memberikan ketenangan di hatinya sehingga tidak timbul rasa takut lagi ?

Mengapa Rasulullah saw khawatir terhadap dirinya kalau-kalau yang dilihatnya di gua
Hira’ itu adalah makhluk halus dari jenis jin ?

Mengapa Rasulullah saw tidak memperkirakan bahwa itu adalah Malaikat utusan Allah?

Mengapa setelah itu wahyu terputus sekian lama hingga menimbulkan kesedihan yang
mendalam pada diri Nabi saw sampai timbul keinginannya sebagaimana riwayat Bukhari untuk
menjatuhkan diri dari atas gunung.

Pertanyaan-pertanyaan ini wajar dan alamiah sesuai dengan bentuk permulaan turunnya
wahyu tersebut. Dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini kelak, akan terungkap suatu
kebenaran yang dapat menghindarkan setiap orang yang berpikiran sehat dari perangkap para
musuh Islam yang pengaruh rajutan imajinasi palsu mereka.

Ketika sedang tenggelam dalam khalwatnya di gua Hira’ Rasulullah saw dikejutkan
oleh Jibril yang muncul dan terlihat di hadapannya seraya berkata kepadanya, „Bacalah“ Hal
ini menjelaskan bahwa fenomena wahyu bukanlah urusan pribadi yang bersumber dari inspirasi
atau intuisi. Tetapi merupakan penerimaan terhadap haqiqah kharijyah (kebenaran yang
bersumber dari luar) yang tidak ada kaintannya dengan inspirasi, pancaran jiwa, atau intuisi.

Dekapan Malaikat terhadapnya, kemudian dilepaskannya begitu terjadi sampai tiga kali, dan setiap kali
mengatakan „Bacalah“ merupakan penegasan terhadap hakikat wahyu ini. Di samping
merupakan penolakan terhadap setiap anggapan bahwa fenomena wahyu tidak lebih sekedar
intuisi.

Timbulnya rasa takut dan cemas pada diri Nabi saw ketika mendengar dan melihat Jibril,
sampai beliau menghentikan khalwatnya dan segera kembali pulang dengan hati gundah
merupakan bukti nyata bagi orang ynag berakal sehat bahwa Nabi saw tidak pernah sama sekali
merindukan risalah dibebankan-Nya untuk disebarkannya ke segenap penjuru dunia.

Dan bahwa fenomena wahyu ini tidak datang bersamaan ataupun menyempurnakan apa yang pernah
terlintas di dalam benaknya. Tetapi fenomena wahyu ini muncul secara mengejutkan dalam
hidupnya tanpa pernah dibayangkan sebelumnya. Rasa takut dan cemas tidak akan pernah
dialami oleh „orang yang telah merenung dan berpikir secara pelan-pelan sampai terbentuk di
dalam benaknya suatu aqidah yang diyakini akan menjadi dakwahnya“.

Selain itu, masalah inspirasi, intuisi, bisikan batin atau perenungan ke alam atas, tidak
mengundang timbulnya rasa takut dan cemas. Tidak ada korelasi antara perenungan dan
perasaan takut dan terkejut. Jika tidak demikian, tentu semua pemikir dan orang yang
melakukan kontemplasi akan selalu dirundung rasa takut dan cemas.

Anda tentu mengetahui bahwa perasaan takut, terkejut dan menggigilnya sekujur tubuh
tidk mungkin dapat dibuat-buat. Sehingga jelas tida dapat diterima jika ada orang yang
mengandaikan Rasulullah saw melakukan hal tersebut.

Keterkejutan dan kecemasan Nabi saw ini semakin nampak jelas pada keraguan beliau,
jangan-jangan yang dilihat dan yang mendekapnya di gua Hira’ itu adalah makhlul jin. Ini dapat
diperhatikan ketika Nabi saw berkata kepada Khadijah,“ Aku khawatir terhadap diriku,“ yakni
khawatir terhadap gangguan makhluk jin. Tetapi Khadijah segera menenangkannya, bahwa
beliau bukan tipe orang yang bisa diganggu oleh setan dan jin, karena akhlak dan sifat terpuji
yang dimilikinya.

Adalah mudah bagi Allah untuk menenangkan hati Rasul-Nya dengan menyatakan,
misalnya bahwa yang mengajaknya berbicara tersebut adalah Jibril. Ia adalah Malaikat Allah
yang datang mengabarkan bahwa Muhammad saw adalah Rasul Allah kepada manusia. Tetapi ,
hikmah Ilahiyah ingin menampakkan pemisahan total antara kepribadian Muhammad saw
sebelum dan sesudah bi’tsah. Di samping menjelaskan bahwa prinsip aqidah Islam atau
perundang-undangan Islam tidak pernah diolah di kepala Rasulullah saw dan tidak pernah
dibayangkan sebelumnya.

Kemudian ilham Allah kepada Khadijah untuk membawa Nabi saw menemui Waraqah
bin Naufal menanyakan permasalahannya, merupakan penegasan bahwa apa yang
mengejutkan itu hanyalah wahyu Ilahi yang pernah disampaikan kepada Nabi sebelumnya. Di
samping untuk menghapuskan kecemasan yang menyelubungi jiwa Rasulullah saw karena
menafsirkan apa yang dilihat dan didengarnya.

Terhentinya wahyu setelah itu selama enam bulan atau lebih, mengandung mu’jizat Ilahi
yang mengagumkan. Karena hal ini merupakan sanggahan yang paling tepat terhadap para
orientalis ynag menganggap wahyu sebagai produk perenungan panjang yang bersumber dari
dalam diri Muhammad saw.

Sesuai dengan kehendak Ilahi, Malaikat yang dilihatnya pertama kali di gua Hira’ itu
tidak muncul lagi sekian lama, sehingga menimbulkan kecemasan di hati Nabi saw. Kemudian
kecemasan itu berubah menjadi rasa takut terhadap dirinya, karena khawatir dimurkai Allah,
setelah dimuliakan-Nya denan wahyu lantaran suatu tindakan ynag dilakukannya. Sehingga
dunia yang luas ini serasa sempit bagi Nabi saw. Bahkan sampai akhirnya pada suatu hari
Malaikat ynag pernah dilihatnya di gua Hira’ itu muncul kembali, terlihat di antara langit dan
bumi seraya berkata ,“ Wahai Muhammad, kamu adalah utusan Allah kepada manusia.“
Dengan rasa takut dan cemas nabi saw sekali lagi kembali ke rumah, dimana kemudian
diturunkan firman Allah :

“Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berikan peringatan!“ (QS al-Muddatsir 1-2)

Sesungguhnya keadaan dan peristiwa yang dialami oleh Nabi saw ini membuat
pemikiran yang mengatakan bahwa wahyu merupakan intuisi sebagai suatu pemikiran gila.

Sebab untuk menumbuhkan inspirasi dan instuisi tidak perlu menjalani keadaan seperti itu.
Dengan demikian hadits, permulaan wahyu yang tersebut dalam riwayat shahih di atas
merupakan senjata yang menghancurkan segala serangan musuh-musuh Islam menyangkut
masalah wahyu dan kenabian Muhammad saw. Dari sini anda dapat memahami mengapa
permulaan penurunan wahyu dilakukan Allah sedemikian rupa.

Mungkin musuh-musuh Islam akan kembali bertanya :“ Jika wahyu ini diturunkan
kepada Muhammad saw. Dengan perantaraan Jibril, mengapa para sahabat tidak ada yang
melihat Malaikat tersebut?“

Jawabnya, bahwa untuk menyatakan keberadaan sesuatu tidak disyaratkan harus dapat
dilihat. Sebab penglihatan manusia itu terbatas. Apakah setiap sesuatu yang jauh dari jangkauan
penglihatan mata manusia itu bisa dikatakan tidak ada ? Adalah mudah bagi Allah untuk
memberikan kekuatan penglihatan kepada siapa saja yang tidak dapat dilihat oleh orang lain.
Berkenaan dengan masalah ini Malik bin Nabi mengatakan :
“Buta warna itu menjadi contoh bagi kita bahwa ada sebagian warna yang tidak dapat dilihat
oleh sebagian mata.” Juga ada sejumlah cahaya infra merah dan ultra ungu yang tidak dapat
dilihat oleh mata kita. Tetapi belum terbukti secara ilmiah apakah semua mata juga demikian.
Sebab , ada mata yang kurang atau terlalu sensitif.

Kemudian berlanjutnya wahyu setelah itu menunjukkan kebenaran wahyu, dan bukan
seperti yang dikatakan oleh musuh-musuh Islam sebagai fenomena kejiwaan. Ini dapat kita
buktikan dengan beberapa hal berikut :

1. Perbedaan yang jelas antara al-Quran dan al-Hadits Nabi saw memerintahkan para
sahabatnya agar mencatat al-Quran segera setelah diturunkan. Sementara untuk hadits ,
Nabi saw hana memerintahkan agar di hafal saja. Bukan karena hadits itu sebagai perkataan
dari dirinya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan kenabian, tetapi karena al-Quran itu
diwahyukan kepadanya dengan makna dan lafadzhnya melalui Jibril, sedangkan hadits itu
maknanya dari Allah tetapi lafadzhnya dari Rasulullah saw. Nabi saw sering
memperingatkan para sahabat agar jangan sampai mencampuradukan kalam Allah dengan
sabdanya.

2. Nabi saw sering ditanya tentang beberapa masalah, tetapi beliau tidak langsung
menjawabnya. Kadang Nabi saw menunggu lama hingga apabila telah diturunkan suatu ayat
al-Quran mengenai apa yang ditanyakan tersebut, barulah Nabi saw memanggil si penanya
kemudian membacakan al-Quran ynag baru diturunkan itu. Kadang dalam beberapa hal Nabi
saw, melakukan tindakan tertentu, kemudian diturunkan beberapa ayat al-Quran , dan
kadang berupa teguran atau koreksi.

3. Rasulullah saw adalah seorang ummi. Tidak mungkin orang seperti ini dapat mengetahui
melalui meditasi peristiwa-peristiwa sejarah, seperti kisah Yusuf, ibu Musa, ketika
menghanyutkan anaknya di sungai, kisah Fir’aun dan lainnya. Semua ini termasuk hikmah
yang dapat diambil dari keadaanya sebagai seorang yang ummi :
 
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu Kitabpun, dan kamu tidak
pernah menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu, andaikan (kamu pernah membaca
dan menulis) benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari(mu)“ (QS Al-Ankabut : 48)

4. Kejujuran Nabi saw selama empat puluh tahun bergaul bersama kaumnya sehingga dikenal
di kalangan mereka sebagai orang yang jujur dan terpercaya, membuat kita yakin akan
kejujurannya terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, selama pengamatan terhadap
fenomena wahyu, pasti Nabi saw telah berhasil mengusir keraguan yang membayangi kedua
matanya atau pikirannya. Seolah ayat berikut ini merupakan jawaban terhadap penelitian dan
kajian yang pertama tentang wahyu :

„ Maka jika kamu (Muhammad ) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami
turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab
sebelum kami. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Rabb-mu , sebab
itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu“ (QS Yunus : 94)

Karena itu diriwayatkan bahwa setelah ayat ini diturunkan , Nabi saw bersabda :
„ Aku tidak lagi dan tidak akan bertanya lagi“
(Allohu a’lam)