Pages

Sabtu, 17 November 2012

Kepada Apa Kami Menyeru Manusia?


Pengantar Redaksi
Dalam ceramah “Syarah Risalah Ila Ayyi Syaiin Nad’un Nas” pada tanggal 3 Juni 2008, di Mekkah, DR. ‘Isham Al-’Iryan menjelaskan bahwa risalah ini diterbitkan pertama kali pada 11 Mei 1934 M/26 Muharram 1353 H.
Risalah ini berbicara tentang pemikiran dan pemahaman yang terkait dengannya. Selain ditujukan buat pada aktivis dakwah Ikhwan, risalah ini juga ditujukan buat kaum muslimin dalam rangka menerangkan pemikiran Ikhwan kepada mereka agar mereka siap memikul beban dakwah ini.

Pendahuluan
Dalam banyak kesempatan, Anda mungkin pernah menjelaskan kepada orang banyak tentang berbagai masalah dan Anda yakin bahwa semua cara telah Anda lakukan. Anda merasa bahwa semuanya telah jelas, dan bahkan sangat jelas. Tapi kemudian Anda mungkin terhenyak karena ternyata para pendengar tidak memahami penjelasan Anda.
Ini yang saya saksikan dan juga saya rasakan di banyak kesempatan. Saya percaya bahwa kuncinya adalah satu dari dua hal; Pertama, mungkin karena tolak ukur yang kita gunakan dalam mempersepsi yang ia dengar dan yang ia katakan berbeda, sehingga terjadilah perbedaan pemahaman; Kedua, mungkin karena ucapan yang kurang jelas, meski ia yakin bahwa ia telah menyampaikannya dengan jelas.
Tolak Ukur
Melalui risalah ini saya ingin menjelaskan tentang berbagai dimensi dakwah Ikhwan; meliputi tujuan, sasaran, metode dan sarana-sarana yang digunakannya. Tapi sebelumnya saya ingin membatasi tolak ukur yang harus digunakan dalam mengukur tingkat kejelasan tersebut. Kemudian saya akan berusaha untuk menjelaskannya semudah mungkin, sehingga setiap pembaca dapat mengambil manfaat darinya. Tidak ada seorang muslim yang akan berbeda dengan saya bahwa tolak ukur itu adalah Kitabullah; dialah lautan dari mana kita meraup mutiara kecemerlangan, dan referensi ke mana kita menentukan hukum.
Wahai Kaum,
Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna yang berisi dasar-dasar kepercayaan, kaidah-kaidah perbaikan sosial, prinsip-prinsip umum hukum keduniaan, serta sederet perintah dan larangan. Adakah kaum muslimin telah melaksanakan ajaran Al-Qur’an itu? Adakah mereka telah meyakini ajaran aqidah di dalamnya? Benarkah mereka telah memahami betul tujuan-tujuannya?
Kemudian, apakah mereka telah menerapkan sistem-sistem lain yang vital dalam kehidupan mereka?
Jika dalam pembahasan ini kita sepakat bahwa mereka telah melakukannya, maka itu berarti kita sampai kepada tujuan. Jika kita buka kembali pembahasan yang menjelaskan tentang mereka dari sudut Al-Qur’an dan kelalaian mereka terhadap ajaran dan perintah-perintahnya, maka ketahuilah bahwa tugas kita adalah mengembalikan diri kita dan orang-orang yang bersama kita ke jalan Islam.
Tujuan Hidup Manusia Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an telah menjelaskan tujuan hidup manusia dan sikap yang harus manusia ambil. Al-Qur’an menjelaskan bahwa sebagian manusia menjadikan makan dan kesenangan yang lain sebagai tujuan hidupnya. Firman Allah,
“Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad:12)
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia: dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”(Ali-Imran:14)
Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa ada sebagian manusia yang menjadikan penyebaran fitnah, kejahatan, dan kerusakan sebagian tujuan hidupnya. Firman Allah,
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. Padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (Al-Baqarah:204-205)
Itulah beberapa tujuan manusia dalam menjalani hidupnya. Allah telah membersihkan kaum mukminin dari tujuan-tujuan buruk itu dan mencanangkan untuk mereka sebuah tujuan yang lebih mulia lagi luhur. Di atas pundak mereka Allah meletakkan beban besar yang sangat luhur; yaitu tugas membawa manusia ke jalan kebenaran, membimbing mereka ke jalan kebaikan, menerangi seluruh penjuru dunia dengan matahari Islam. Dengarlah firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan perbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu kepada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Al-Hajj:77-78)
Al-Qur’an menjadikan kaum muslimin sebagai mandataris-Nya di hadapan umat manusia; memberikan kepada mereka hak kepemimpinan dan kewenangan atas dunia untuk menunaikan mandat suci itu. Jadi kekuasaan itu adalah hak kita, bahkan hak Barat atau siapa pun. Keberadaannya adalah demi peradaban Islam, dan bukan peradaban materialisme.
Mandat Suci Itu Berarti Pengorbanan, Bukan Pemanfaatan
Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa dalam mencapai tujuan suci, kaum muslimin rela menjual jiwa dan hartanya kepada Allah swt. dengan keimanannya mereka merasa tak berhak lagi atas jiwa dan hartanya. Keduanya telah menjadi wakaf di jalan Allah demi mensukseskan dakwah dan menyampaikannya kepada segenap hati manusia. Simaklah firman Allah,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (At-Taubah: 111)
Itulah sebabnya setiap muslim menjadikan dunianya sebagai wakaf bagi dakwahnya agar ia bisa mendapatkan akhirat sebagai balasan dari Allah atas pengorbanannya. Itu pula sebabnya seorang muslim adalah juga seorang guru yang memiliki semua sifat yang harus ada pada guru, yaitu cahaya, hidayah, rahmat dan kelembutan. Sehingga pembebasan Islam berarti juga pembebasan demi peradaban, kemajuan, pengajaran dan bimbingan kepada seluruh umat manusia. Samakah ini dengan dominasi Barat sekarang, yang terwujud dalam bentuk imperialisme dan penindasan?
Di Manakah Kaum Muslimin dari Tujuan Itu?
Demi Tuhanmu, saudaraku tercinta, apakah kaum muslimin telah memahami ajaran Al-Qur’an ini sehingga jiwa dan ruhnya dapat naik ke langit, terbebas dari perbudakan materialisme, bersih dari syahwat dan ambisi dunia, mengarahkan wajah dengan lurus kepada Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, menegakkan kalimat Allah dan berjuang di jalan-Nya, menyebarkan agama dan membela syariat-Nya? Ataukah mereka justru telah menjadi tawanan syahwat dan budak keserakahan, dengan hanya memikirkan makanan lezat, kendaraan megah, perhiasan mewah, tidur nyenyak, istri cantik, penampilan parlente dan gelar-gelar palsu?
Mereka sudah cukup senang dengan mimpi-mimpi dan teruji dengan keberuntungan
Mereka bilang menyelami laut perjuangan, tapi mereka toh tak teruji.
Sungguh benar ketika Rasulullah saw. bersabda,
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba selimut.”
Tujuan Adalah Dasar, Perbuatan Adalah Buahnya
Tujuan adalah dasar yang mendorong kita sepanjang perjalanan. Tapi karena tujuan itu masih samar bagi umat Islam, maka wajib bagi kami untuk menjelaskan dan menerangkannya. Saya kira kami telah menjelaskan banyak hal. Kita telah sepakat bahwa tujuan kita adalah memimpin dunia, dan membimbing manusia kepada ajaran Islam yang syamil, di mana manusia tidak mungkin menemukan kebahagiaan kecuali bersamanya.
Sumber-Sumber Tujuan Kami
Itulah misi yang ingin disampaikan Ikhwan kepada seluruh manusia; dan maksud mereka agar umat Islam memahaminya dengan benar, kemudian merealisasikannya dengan semangat dan tekad yang bulat. Ikhwan tidak mengada-ada, namun ini adalah misi yang setiap saat muncul dalam tiap ayat Al-Qur’an; menampakkan diri dalam hadits-hadits Rasulullah saw.; tergambar dalam tindakan dan perilaku generasi pertama Islam. Bila kaum muslimin bersedia menerima misi ini, maka sungguh itulah manifestasi keimanan dan keislaman yang benar. Tapi jika mereka keberatan menerimanya, maka di antara kami dengan mereka ada Kitab Allah sebagai penentu hukum yang adil. Apakah kebenaran itu pada kami ataukah pada mereka? Allah berfirman,
“Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (Al-A’raf:89)
Mereka Bertanya
Ada banyak pertanyaan dari saudara-saudara kami yang kami cintai, kami wakafkan kepadanya segenap potensi kami, bahkan harta dan jiwa kami untuk kebaikan dunia dan akhirat mereka, kami melebur berikut harta dan jiwa kami dalam tujuan besar itu. Semua demi membahagiakan umat dan saudara-saudara kami. Di jalan panjang itu kami lupakan segala kesenangan, bahkan terkadang untuk anak-anak kami sendiri sekalipun.
Saya berharap bahwa mereka yang bertanya-tanya itu suatu saat akan mengetahui betapa kesungguhan kader-kader Ikhwan; mereka begadang ketika semua orang tertidur lelap, mereka gelisah di saat semua orang lengah. Lihatlah! Ada yang serius bekerja dan berpikir keras di kantornya sejak sore hingga larut malam setiap hari di sepanjang bulan. Sampai ketika akhir bulan, lantas ia mengumpulkan penghasilannya untuk diinfakkan buat jamaah dan dakwah. Ia menjadikan harta sebagai sarana mencapai tujuan suci dakwah ini. Seakan-akan lisannya yang suci hendak berkata, kepada kaumnya yang tidak pernah mengetahui betapa besar pengorbanannya, “Tak ada ganjaran yang kuharap dari kalian. Aku hanya mengharap pahala dari Allah.”
Kami tidak bermaksud mengekspos kebaikan itu kepada umat kami. Kami berlindung kepada Allah dari yang demikian. Kami dari mereka dan ada untuk mereka. Pengorbanan ini adalah bagian dari pendekatan yang kami lakukan agar mereka berkenan menerima dakwah dan seruan kami.
Dari Mana Sumber Dana?
Saudara-saudara yang kami cintai itu, yang memantau perkembangan Ikhwan secara teliti dan berkesinambungan bertanya, “Dari mana sumber dana yang kami pakai untuk dakwah yang telah meraih sukses besar, di saat kondisi ekonomi sedang sulit dan jiwa-jiwa manusia sedang pelit?”
Dengan senang hati saya katakan kepada mereka bahwa dakwah agama bertumpu pada iman dan aqidah, sebelum harta dan kekayaan dunia yang fana. Jika ada seorang yang benar-benar beriman, maka akan selalu ditemukan sarana menuju sukses. Sebenarnya dana kami tidak terlalu banyak. Setiap anggota Ikhwan selalu menyisihkan anggaran belanja keluarga untuk dakwah, dengan mengirit dalam pemenuhan kebutuhan pokok keluarga dan anak-anaknya. Mereka melakukan itu dengan senang hati dan penuh kemurahan. Bahkan seseorang di antara mereka sering berharap untuk memiliki lebih banyak lagi harta agar dapat menginfakkannya dengan lebih banyak pula. Jika di antara mereka tidak menemukan harta untuk diinfakkan, mereka akan berbalik dengan air mata bercucuran disebabkan kesedihan yang dalam karena tidak menemukan sesuatu yang dapat mereka infakkan.
Namun alhamdulillah, dengan dana yang sedikit disertai kebesaran iman, hal itu telah menjadi sarana meraih sukses bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa beribadah dan bekerja dengan penuh kejujuran dan kesungguhan. Sesungguhnya Allah Yang memiliki segala sesuatu akan memberkahi satu Qirsy (mata uang Mesir) dari Qirsy-qirsy yang diinfakkan oleh anggota Ikhwanul Muslimin.
“Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah:276)
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya.” (Ar-Ruum:39)
Kami Dan Politik
Sebagian kalangan mengatakan, “Ikhwanul Muslimin adalah dakwah politik, maka para pendukungnya pun terdiri dari para politikus, dan karenanya mereka tentu memiliki kepentingan lain di balik dakwahnya itu.”
Saya tidak tahu, sampai kapan umat ini akan saling menuduh dan berkubang dalam intrik-intrik serta meninggalkan keyakinan yang didukung oleh fakta untuk sebuah praduga yang lahir dari kecurigaan semata?
Wahai kaum kami, sungguh ketika kami menyeru kalian, ada Qur’an di tangan kanan kami dan Sunah di tangan kiri kami, serta jejak kaum salaf yang saleh dari putra-putra terbaik umat ini adalah panutan kami. Kami menyeru kalian kepada Islam, kepada ajaran-ajarannya dan kepada hukum-hukumnya. Jika seruan itu kalian anggap sebagai politik, maka itulah politik kami. Dan jika orang yang menyeru kalian kepada itu semua kalian katakan sebagai politikus, maka alhamdulillah kami adalah politikus yang paling ulung. Jika kalian ingin menyebut itu sebagai politik, silakan memberi nama apa saja yang kalian suka. Sebab nama sama sekali tidak penting bagi kami, selama muatan dan tujuannya jelas.
Wahai kaum kami, janganlah hendaknya kata-kata menghalangi kalian dari melihat kebenaran, jangan pula nama menghijab kalian dari tujuan. Jangan sampai kemasan (bungkus) menghijab kalian dari muatannya yang hakiki, jangan sampai itu semua terjadi. Sesungguhnya dalam Islam ada politik, namun politik yang padanya terletak kebahagiaan dunia dan akhirat, itulah politik kami. Kami tidak menginginkan pengganti apa pun selain itu, maka pimpinlah diri kalian dengan politik itu dan ajaklah orang lain melakukan yang serupa, niscaya kalian akan memperoleh kehormatan di akhirat, dan suatu saat kalian pasti akan tahu tentang kebenaran kabar ini.
Apakah Dasar Kebangsaan?
Saudaraku, marilah kita mendengar bersama gaung keagungan Ilahi yang menggema pada segenap ufuk, yang memenuhi mayapada dan tujuh susun langit, yang membisikkan dalam diri setiap mukmin makna kebanggaan dan kemuliaan tertinggi, saat ia mendengar panggilan ini; gaung itu didengar oleh langit dan bumi beserta isinya sejak Nabi Muhammad saw menyampaikannya di dunia ini, sampai suatu saat yang tak berakhir, karena ia ditakdirkan untuk menjadi abadi,
“Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah:257)
Benar saudaraku. Benar, itulah panggilan Tuhanmu, maka kami menjawab panggilan-Mu, ya Allah. Segala puji syukur yang tiada terbilang hanya untuk-Mu. Hanya Engkaulah Pelindung orang-orang beriman, Penolong orang-orang yang berbuat kebaikan, Pembela orang-orang tertindas, yang diperangi dalam rumah-rumah mereka sendiri dan diusir dari negeri-negeri mereka. Sungguh terhormat orang yang bersandar pada-Mu, dan niscaya akan menang orang yang berlindung di bawah perlindungan-Mu.
“Sesungguhnya Allah niscaya akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (Al-Hajj:40)
Benar saudaraku, benar. Marilah kita bersama mendengar Al-Qur’an yang suci, mari kita bersenandung ria dengan membaca ayat-ayatnya yang jelas, sembari mencatat indahnya kegagahan ini, yang tertera dalam Kitab yang disucikan itu;
“Allah adalah Pelindung orang-orang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” (Ali Imran:257)
“Tetapi (ikutilah Allah) Allahlah Pelindungmu, dan Dialah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran:150)
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Al-Maidah:55)
“Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Al-A’raf:196)
Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah, orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (At-Taubah:51)
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus:62)
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung.” (Muhammad:11)
Tidakkah engkau melihat bahwa dalam ayat-ayat tersebut, Allah telah menisbatkanmu kepada diri-Nya, memberimu keutamaan ketika berada dalam perlindungan-Nya dan membanjirimu dengan lautan keperkasaan-Nya?
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (Al-Munafiqun:8)
Dalam hadits qudsi Rasulullah saw. bersabda,
“Allah berfirman pada hari kiamat, ‘Wahai anak cucu Adam, aku membuat nasab dan kalian pun membuat nasab, maka kalian berkata Fulan Bin Fulan, sedang Aku berkata, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa,” maka hari ini Ku-tinggikan nasab-Ku dan Ku-rendahkan nasab kalian.”‘
Itulah sebabnya saudaraku, kaum Salaf yang shalih lebih suka menisbatkan nasab mereka kepada Allah, dan menjadikan dasar shalat sebagai pusat segala amal mereka untuk mencapai nasab yang mulia. Dengarlah ketika seorang di antara mereka berseru,
Jangan panggil aku, kecuali dengan seruan “Hai Abdullah (hamba Allah),” karena itulah semulia-mulia namaku.
Sementara ada lagi orang lain, ketika ditanya apakah ia berasal dari kabilah Tamim atau Qais, dia menjawab, “Islamlah ayahku.” Aku tak punya ayah selain itu, biarlah mereka bangga sebagai keturunan Qais atau Tamim.
Tak Ada Kehormatan Selain Itu
Saudaraku tercinta, manusia membanggakan nasabnya karena dua sebab; Pertama karena merasa lekat dengan kehormatan dan kejayaan yang pernah diraih nenek moyang mereka; Kedua karena mereka ingin menanamkan rasa bangga dan wibawa pada diri anak-anak mereka, tak ada maksud lain. Apakah Anda tidak melihat bahwa dengan menisbatkan nasab kepada Allah, berarti Anda lelah memperoleh semua makna kehormatan dan wibawa yang diimpikan oleh setiap orang?
“Sesungguhnya kekuatan itu semua hanya bagi Allah.” (An-Nisa’:139)
Bukankah yang demikian yang akan mengangkat jiwa Anda kepada ketinggian, mengobarkan semangat kebangkitan bersama semua orang yang senantiasa berbuat? Adakah kemuliaan yang lebih agung dan kekuatan pendorong keutamaan yang lebih hebat melebihi kenyataan bahwa Anda melihat diri Anda menjadi Rabbani, yaitu ketika hubungan Anda dengan Allah terus terpaut dan selalu kepada-Nya? Karena itulah, Allah berfirman,
“Akan tetapi (dia berkata), ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”‘ (Ali lmran:79)
Sumber Kekuatan Terbesar
Dengan menisbatkan nasab kepada Allah akan ditemukan makna tersendiri. Itulah wacana iman yang senantiasa penuh keyakinan akan keberhasilan, hingga tak ada lagi rasa takut kepada orang, bahkan juga kepada segenap alam, walaupun mereka bersatu, hendak merampas aqidah dan menodai ideologimu.
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran:173)
Golongan orang-orang yang beriman kepada Allah, kepada pertolongan dan bantuan-Nya, seringkali berdiri dengan gagah berani menghadapi bala tentara raksasa. Mereka tidak takut kepada keganasan pasukan, karena mereka hanya takut kepada Allah. Adakah kekuatan yang lebih dahsyat dari kekuatan yang dirasakan seorang mukmin ketika dadanya bergelora dengan firman Allah,
“Jika Allah menolong kamu, niscaya takkan ada yang sanggup mengalahkanmu.” (Ali Imran:160)
Kebangsaan Kami Adalah Nasab Universal
Dari sekian banyak makna keluhuran sosial, ada satu makna lagi yang dirasakan seseorang ketika ia menisbatkan nasabnya (berafiliasi) kepada Allah, yaitu persaudaraan antar suku bangsa, yang akan mematikan fanatisme kesukuan yang membinasakan. Maka siapakah yang dapat menyatukan dunia di bawah bendera Allah?
Mimpi Kemarin Adalah Kenyatan Hari Ini
Ungkapan di atas sebenarnya sudah sering didengar oleh kaum muslimin. Begitu seringnya sehingga menjadi terasa samar dan absurd, bahkan ada yang mengatakan, “Mengapa masih ada kelompok baru yang mengungkap kembali idealisme ini. Idealisme yang terbukti tak pernah menjadi kenyataan? Mengapa mereka masih saja berenang di lautan mimpi?”
Tenanglah wahai saudaraku seiman. Apa yang hari ini tampak samar dan absurd bagi kalian, justru merupakan aksioma yang begitu dekat dengan realita bagi para pendahulu. Sungguh, jihad apa pun yang kalian lakukan takkan pernah membuahkan hasil selama ia belum menjadi demikian pada diri kalian.
Percayalah pada saya, para sahabat telah memahami Al-Qur’an sejak pertama kali diturunkan, dan mereka membacanya; sesuatu yang kini kami ceritakan kepada kalian.
Saya ingin menegaskan bahwa Ikhwanul Muslimin hidup dengan aqidah Islam, mengharapkan kebaikan yang banyak dari aqidah itu, rela mati karenanya, dan hanya di sana mereka menemukan segala kesenangan, kebahagiaan, kebenaran dan keindahan yang mereka impikan.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (AI-Hadid:16)
Saudaraku, bila kini kalian setuju dengan kami atas prinsip ini, maka ketahuilah bahwa afiliasi (penisbatan nasab) kalian kepada Allah mengharuskan kalian untuk memperhitungkan misi yang dibebankan di atas pundak kalian, bekerja dengan sungguh-sungguh dan berkorban sepenuh hati demi menegakkan misi itu. Nah, maukah kalian melakukan yang demikian itu?
Misi Seorang Muslim
Allah telah menyimpulkan misi seorang muslim yang benar dalam satu ayat Al-Qur’an. Kemudian Al-Our’an menyebutnya lagi secara berulang-ulang dalam beberapa ayat. Ayat yang mengisyaratkan tentang misi seorang muslim dalam hidup adalah,
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu kepada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (AI-Hajj:77-78)
Alangkah jelas pernyataan itu, tak ada kesamaran. Pernyataan Al-Qur’an tersebut memenuhi ruang pendengaran dan menyusup ke dalam relung hati, tanpa bisa dihalangi. Demi Allah, sungguh pernyataan itu menyimpan kelezatan yang teramat manis. Belum pernahkah kaum muslimin mendengar panggilan itu, sebelumnya? Atau apakah mereka telah mendengarnya, tapi ada kunci-kunci yang menutupi ruang hati mereka, hingga mereka tak lagi bisa merenungi, memahami dan menyadarinya?
Di sini Allah memerintahkan mereka untuk ruku’ dan sujud serta mendirikan shalat yang merupakan intisari ibadah, tiang Islam dan simbol yang paling menonjol. Allah juga memerintahkan mereka untuk menyembah-Nya dan tidak menjadikan sesuatu pun sebagai sekutu bagi-Nya. Allah juga memerintahkan mereka melakukan perbuatan baik semampu mereka, yang dengan itu, sesungguhnya Allah juga hendak melarang mereka melakukan kejahatan. Sesungguhnya kebaikan pertama itu adalah meninggalkan kejahatan. Alangkah sederhana dan tepat!
Di atas semua itu, Allah kelak akan memberikan keselamatan dan kemenangan. Itulah misi individu bagi setiap muslim; ia harus melaksanakannya, baik pribadi maupun bersama kelompok.
Hak Kemanusiaan
Setelah itu Allah memerintahkan kaum muslimin untuk berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad, dengan jalan menyebarkan dakwah Islam kepada segenap umat manusia. Bila mereka enggan menerima dakwah Islam dan bersikap tiran serta zhalim, maka kita diperintahkan menyebarkan dakwah itu dengan pedang. Dengarlah senandung para penyair,
Kalau manusia menolak hujjah
dan bersikap tiran
Perang lebih baik bagi dunia
dari perdamaian
Menjaga Kebenaran Dengan Kekuatan
Alangkah bijak orang yang pernah mengatakan ini, “Kekuatan adalah jalan yang paling aman untuk memunculkan kebenaran. Sungguh suatu keindahan yang sempurna bila suatu saat kekuatan bisa berjalan beriringan dengan kebenaran.”
Selain menjaga warisan dan tempat-tempat suci Islam, jihad menyebarkan dakwah Islam adalah suatu kewajiban yang dibebankan Allah kepada kaum Muslimin. Kewajiban ini bobotnya sama besar dengan shalat, puasa, zakat, haji, berbuat kebajikan dan meninggalkan kejahatan. Allah mewajibkan hal itu kepada kaum muslimin, dan tidak memaafkan seorang pun yang memiliki kekuatan dan kemampuan kalau dia sampai meninggalkannya. Dengarlah, betapa kuat ayat berikut ini menegur dan menasihati,
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah:41)
Setelah itu Allah menjelaskan rahasia dan hikmah di balik perintah ini. Allah menjelaskan bahwa Dia telah memilih mereka (orang-orang mukmin) untuk menjadi pemimpin bagi hamba-hamba-Nya, sebagai penjaga syariat-Nya, khalifah di muka bumi-Nya, dan sebagai pewaris dakwah Rasul-Nya. Untuk itulah Allah menurunkan agama, merinci syariat, memudahkan hukum dan menjadikannya senantiasa sesuai dengan setiap zaman dan tempat, sehingga dunia dapat menerimanya dan manusia dapat menemukan segala impiannya dalam ajaran itu. Allah berfirman, “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu jadi saksi atas kamu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.” (Al-Hajj:78)
Itulah misi sosial yang dibebankan kepada kaum muslimin; yaitu hendaklah mereka menjadi satu barisan, satu kekuatan, dan menjadi pasukan pembebas yang akan menyelamatkan kemanusiaan dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus.
Rahib Di Malam Hari, Dan Penunggang Kuda Di Siang Hari
Allah juga menjelaskan tentang hubungan antara kewajiban individu –seperti shalat dan puasa– dengan kewajiban sosial; bahwa kewajiban pertama adalah sarana menuju terlaksananya kewajiban kedua, dan bahwa aqidah yang benar adalah pondasi keduanya. Seseorang tidak dibenarkan meninggalkan kewajiban individu dengan alasan sibuk melaksanakan kewajiban sosial, juga sebaliknya, seseorang tidak dibenarkan meninggalkan kewajiban sosial dengan alasan sibuk melaksanakan kewajiban individu, sibuk beribadah dan berhubungan dengan Allah. Sungguh suatu formula yang seimbang dan sempurna.
“Dan siapakah yang lebih perkataannya dari perkataan Allah.”
Wahai kaum muslimin, beribadah kepada Tuhan, berjihad menegakkan agama dan meninggikan-Nya adalah misi hidup kalian. Jika kalian melaksanakannya dengan baik, niscaya kalian akan memperoleh kemenangan. Tapi jika kalian hanya melaksanakan sebagiannya atau bahkan melalaikan semuanya, maka biarlah kubacakan ayat berikut ini,
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya.” (Al-Mukminun:115-116)
Sebagai wujud pemahaman terhadap makna yang diisyaratkan ayat di atas, para sahabat tampil dengan julukan, “Layaknya Rahib-rahib di malam hari, dan penunggang kuda di siang hari.” Ketika malam tiba, mereka berdiri di mihrab, hingga larut dalam kekhusukan shalatnya, menggeleng-gelengkan kepala dan menangis sedu oleh dzikir panjang, seraya bergumam, “Wahai dunia, bukan aku orang yang bisa kau tipu.”
Namun, begitu fajar menyingsing dan hari beranjak siang, gaung jihad menggema menyeru para mujahidin, niscaya kau lihat mereka segera melompat ke atas kudanya sambil meneriakkan syiar-syiar kebenaran dengan lantang, hingga menembus segenap penjuru buana.
Demi Allah, apakah gerangan di balik keserasian yang ajaib, keharmonisan yang sempurna, perpaduan yang spektakuler antara urusan dunia berikut segala pernik-perniknya dengan urusan akhirat dan segenap spiritualitasnya ini? Sebagai jawabannya; itulah Islam, yang senantiasa sanggup memadukan semua yang baik dari segala sesuatu.
Wahai muslimin, untuk itulah kaum muslimin segera bertebaran di segenap penjuru. Al-Qur’an ada dalam dada mereka, rumah-rumah mereka ibarat pelana-pelana kuda, dan pedang-pedang mereka senantiasa terhunus dalam genggaman. Dari lisan mereka mengalir deras hujjah-hujjah yang terang, menyeru manusia kepada salah satu dari tiga pilihan; Islam, jizyah, atau perang. Siapa yang memilih Islam, maka ia akan menjadi saudara kaum muslimin dengan menyandang hak dan kewajiban yang sama. Siapa yang membayar jizyah, maka ia akan berada dalam perlindungan dan perjanjian dengan kaum muslimin. Tapi bila ia tetap enggan, maka mereka akan diperangi sampai Allah memenangkan hamba-hamba-Nya,
“Dan Allah tiada menginginkan kecuali menyempurnakan cahaya (agama)-Nya.”
Mereka melakukan itu bukan karena ambisi kekuasaan, bukan pula karena semangat ekspansi. Semua orang tahu kezuhudan mereka terhadap kedudukan dan popularitas. Agama Islam telah mengenyahkan semua kecenderungan tersebut. Dalam Islam, seorang khalifah tidak berbeda dengan rakyat pada umumnya. Ia mendapatkan gaji dari baitulmal sama seperti gaji yang diberikan kepada orang lain. Ia sama sekali tidak mendapat lebih banyak dari mereka. Tidak ada yang membedakannya dengan rakyat kecuali wibawa dan kehormatan iman yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Mereka tidak melakukan itu karena harta. Mereka bahkan sudah merasa cukup dengan sekerat roti sekadar untuk mengusir lapar, dan seteguk air untuk menghilangkan dahaga. Puasa bagi mereka adalah sebentuk upaya pendekatan kepada Allah. Mereka lebih akrab dengan rasa lapar. Pakaian yang bersih dan sekadar dapat menutup aurat sudah cukup bagi mereka. Kitab Suci di tangan mereka setiap saat senantiasa memberi ingat dari keterjerumusan sebagaimana yang dialami oleh orang-orang kafir,
“Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad:12)
Nabi Muhammad saw juga mengingatkan hal yang sama,
“Celakalah budak dinar. Celakalah budak dirham. Celakalah budak selimut.”
Jadi, mereka keluar dari rumah mereka bukan karena ambisi kekuasaan, bukan juga untuk memburu harta dan popularitas, apalagi karena nafsu imperialisme. Mereka keluar semata-mata untuk menunaikan satu misi suci sebagaimana yang telah diwasiatkan nabi Muhammad saw. Yaitu berjihad di jalan Allah,
“Supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (Al-Anfal:39)
Kini Saatnya Kita Harus Memahami
Dulu kaum muslimin memahami makna ini dengan baik dan mereka bersungguh-sungguh untuk merealisasikannya. Keimanan menuntun mereka untuk terus berkorban di jalan ini. Tapi kini, kaum muslimin saling berbeda pendapat dalam memahami misi yang seharusnya mereka emban ini. Mereka membuat berbagai interpretasi untuk membenarkan kemalasan dan ketidakberdayaan mereka. Sebagian mereka mengatakan bahwa waktu jihad telah berlalu. Lalu sebagian yang lain turut memberi andil dalam mematikan semangat jihad dengan mengatakan, sarana-sarana jihad tidak cukup memadai sedang umat Islam masih terbelenggu dalam kebodohan. Sebagian yang lain sudah merasa cukup puas beragama hanya dengan wirid yang mereka lantunkan setiap pagi dan sore. Ia puas dengan beberapa ibadah yang telah ia tunaikan, sementara hatinya kosong dari hakikat.
Tidak, wahai saudaraku. Al-Qur’an yang mulia ini ada di hadapan kalian, dan senantiasa menyeru kalian dengan seruannya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat:15)
Dengar pula bagaimana Rasulullah saw. bersabda,
“Kalau manusia mulai kikir dengan dinar dan dirham melakukan jual beli dengan cara riba, mengikuti ekor sapi (umat lain, Yahudi dan Nasrani), dan meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan memasukkan kehinaan ke dalam diri mereka, Dia tidak akan menghilangkannya kecuali jika mereka kembali kepada agama mereka,” (H.R. Imam Ahmad dalam Musnadnya, Ath-Thabarani dalam kitab Jami’ Al-Kabir, Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Ilam dari Abdullah bin Umar)
Kalian dapat membaca dalam banyak kitab fiqih yang lama maupun yang baru, tentang kapan jihad itu merupakan fardhu kifayah (kewajiban kolektif) dan kapan pula ia merupakan fardhu ain (kewajiban individual). Kalian akan tahu makna dan hakikat jihad yang sebenarnya. Lalu mengapa kelesuan ini menimpa kita? Mengapa keputusasaan memenjara hati kita hingga kita tak pernah sadar?
Wahai kaum muslimin, sekarang kita hidup dalam abad kebangkitan. Maka bangunlah diri kalian, agar kalian dapat membangun umat kalian.
Kewajiban ini menuntut adanya jiwa yang dipenuhi oleh iman dan hati yang luhur. Berusahalah untuk senantiasa meneguhkan komitmen kalian dan memurnikan hati kalian. Kewajiban ini menuntut kalian untuk terus berkorban dengan harta dan kesungguhan. Bersiaplah dan singsingkan lengan baju kalian. Sesungguhnya apa yang ada pada kalian akan pupus habis, dan apa yang ada di sisi Allah akan kekal. Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta benda kaum muslimin, dengan memberikan balasan surga, yang luasnya seluas langit dan bumi.
Dari Mana Kita Harus Memulai
Sesungguhnya setiap umat yang ingin membina dan membangun dirinya, serta berjuang untuk mewujudkan cita-cita dan membela agamanya, haruslah memiliki kekuatan jiwa yang dahsyat. Kekuatan jiwa itu terekspresikan dalam beberapa hal sebagai berikut; tekad membaja yang tak pernah melemah, kesetiaan yang teguh dan tidak tersusupi oleh pengkhianatan, pengorbanan yang tidak terbatasi oleh keserakahan dan kekikiran, pengetahuan dan keyakinan, serta penghormatan yang tinggi terhadap ideologi yang diperjuangkan. Semua itu akan menghindarkannya dari kesalahan, penyimpangan, menawar-nawarnya dengan yang lain, atau tertipu oleh ideologi lain. Hanya di atas pilar-pilar dasar ini dan hanya di atas kekuatan spiritual yang dahsyat ini, sebuah ideologi akan hidup, bangsa yang muda dan sedang bangkit akan terbina, dan sungai kehidupan akan mengalir kembali dalam jiwa setelah sekian lama dilanda kekeringan.
Setiap bangsa yang tidak memiliki keempat sifat tersebut –atau minimal para pemimpinnya–, maka dapat dipastikan dia akan menjadi bangsa yang rapuh dan miskin. Tidak akan ada kebaikan yang dapat ia raih atau harapan yang dapat ia capai dengan kelemahannya itu. Selamanya ia akan hidup dalam mimpi dan angan-angan kosong.
“Sesungguhnya prasangka itu tidak berguna untuk mencapai kebenaran.”
Inilah hukum dan sunah Allah yang berlaku dalam kehidupan makhluk-Nya. Dan tidak akan pernah ada perubahan dalam hukum dan sunah Allah itu.
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” ” (Ar-Ra’d:11)
Seperti juga dijelaskan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Daud,
“Akan datang suatu masa di mana umat-umat lain akan memperebutkan kalian sama seperti anjing-anjing yang memperebutkan nampannya.” Salah seorang sahabat bertanya, ‘Apakah karena jumlah kita sedikit ketika itu?” Rasulullah saw. menjawab, “(Tidak), bahkan jumlah kalian ketika itu sangat banyak, tapi kalian itu bagai buih yang mengapung di atas arus air. Sungguh Allah akan mencabut dari dada musuh kalian rasa takut terhadap kalian, dan sungguh Allah akan menanamkan wahn dalam hati kalian.” Salah seorang bertanya, ‘Apakah wahn itu wahai Rasul Allah?” Rasulullah saw. menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,”
Tidakkah Anda melihat bahwa Rasulullah saw. telah menjelaskan sebab kelemahan dan kehinaan suatu bangsa. Yaitu karena kelemahan hati dan jiwanya, dan karena hati mereka kosong dari akhlaq yang luhur dan sifat-sifat kesatria, meski jumlah mereka banyak dan kekayaan mereka melimpah ruah.
Sesungguhnya suatu umat yang selalu terbuai dalam kenikmatan, terlena oleh kemewahan, tenggelam dalam kemilau harta benda dan tertipu oleh pesona bunga-bunga dunia, serta lupa pada kemungkinan menghadapi tragedi dan kekerasan serta berjuang menegakkan kebenaran; kepada umat seperti itu katakanlah, “Selamat jalan kehormatan dan ketinggian.”
Antara Dua Kekuatan
Banyak kalangan yang menganggap bahwa bangsa Timur tidak dapat bangkit dan berpacu dengan negara Barat karena mereka tidak memiliki kekuatan fisik yang memadai; seperti dana, sarana tempur dan yang lainnya. Tentu saja itu tidak terlalu salah dan keberadaannya memang penting. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah kekuatan spiritual; akhlaq yang luhur, jiwa yang mulia, pengetahuan dan keyakinan terhadap hak-hak diri sendiri, tekad yang kuat membaja, semangat pengorbanan dalam menunaikan kewajiban, kesatuan, dan kesetiaan yang merupakan dasar bagi terbangunnya rasa saling percaya. Dari kesemuanya itulah kekuatan bersumber.
Andaikan orang Timur menyadari akan haknya, kemudian berusaha merubah diri sendiri, membangun kekuatan spiritual yang dahsyat dan membina keluhuran budi pekerti, niscaya sarana-sarana kekuatan fisik itu dengan sendirinya akan datang kepada mereka dari berbagai arah. Sungguh terlalu banyak lembaran sejarah yang membuktikan akan hal itu.
Ikhwanul Muslimin meyakini ini sepenuhnya. Keyakinan itulah yang mendorong mereka untuk terus mensucikan hati, menguatkan jiwa dan meluhurkan budi pekerti. Keyakinan itu pulalah yang mendorong mereka untuk terus berjuang menyebarkan dakwah, memahamkan umat manusia akan hakikat misi dan ideologi yang mereka dakwahkan, kemudian menyeru umat untuk turut membersihkan jiwa dan meluruskan kehidupan mereka.
Misi itu bukan sesuatu yang baru yang mereka ada-adakan. Begitulah tabiat mereka dalam semua ucapan mereka. Keyakinan itu bersumber dari kamus Sang Maha Agung, lautan yang tak bertepi, undang-undang yang bijak dan teramat detail, dan referensi yang tertinggi, itulah Kitabullah. Belum pernahkah Anda mendengar perihal hukum yang abadi itu?
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu merubah keadaan yang ada dalam diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d:11)
Dalam banyak ayat, Al-Qur’an sering menyingkap rahasia ini dan bahkan memberikan contoh aplikatif yang jelas dan abadi melalui kisah Bani Israel; kisah indah yang melukiskan jalan kebangkitan sebuah umat yang sebelumnya ditanda kekalahan dan keputusasaan.
Jalan Itu Sudah Jelas
Ikhwanul Muslimin yakin sepenuhnya, bahwa ketika Allah menurunkan Al-Qur’an, menyuruh hamba-hamba-Nya mengikuti Muhammad saw., dan meridhai Islam sebagai agama bagi mereka, sesungguhnya Ia telah meletakkan seluruh dasar yang mutlak dibutuhkan bagi kehidupan, kebangkitan dan kesejahteraan umat manusia. Pembenaran terhadap uraian tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an,
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dari Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (Al-A’raf: 57)
Demikian juga kita mendapatkan pembenaran dari sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadits yang mulia,
“Demi Allah, aku tiada membiarkan suatu keburukan, melainkan aku pasti melarang kalian dari melakukannya.”
Bila Anda menyelami ajaran-ajaran Islam secara lebih mendalam, pasti akan menemukan betapa agama yang agung ini telah meletakkan prinsip, sistem, dan tatanan yang paling tepat bagi kehidupan manusia, baik dalam skala individu, keluarga, maupun bangsa-bangsa. Islam juga memformulasikan kerangka konseptualnya secara detail; sesuatu yang tak sanggup dilakukan oleh para reformer dan pemimpin bangsa-bangsa di dunia.
Tema-tema besar semacam universalisme, nasionalisme, sosialisme, kapitalisme, komunisme, perang, distribusi kekayaan, hubungan antara produsen dan konsumen, serta berbagai masalah yang terkait dengan tema ini, kami yakin telah diselami begitu dalam oleh Islam. Sebab Islam telah meletakkan suatu sistem bagi dunia yang membuka pintu bagi pendayagunaan dan pemanfaatan semua sumber kebaikan, sekaligus menghindarkan manusia dari semua kemungkinan buruk yang bisa timbul dalam proses menuju ke sana.
Tentu saja risalah ini bukan tempat untuk merinci masalah itu lebih jauh lagi. Yang ingin kami lakukan di sini adalah menegaskan kerangka pemikiran yang kami yakini kebenarannya, sekaligus menjelaskan apa yang kepadanya kami menyeru manusia. Setelah itu, dalam bagian lain, kami akan kembali merinci masalah itu secara lebih detail.
Kita Harus Mengikuti
Karena Ikhwanul Muslimin meyakini kerangka dasar pemikiran ini, maka mereka menyeru umat untuk berupaya menjadikan prinsip-prinsip Islam sebagai dasar kebangkitan bangsa-bangsa Timur modern dalam semua dimensi kehidupannya. Ikhwanul Muslimin percaya, bahwa setiap fenomena kebangkitan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan hukum-hukum Al-Qur’an, pasti akan menjumpai kegagalan. Kebangkitan seperti itu hanya akan membawa pada jatuhnya korban yang lebih banyak untuk sebuah kesia-siaan. Akan lebih baik bagi umat yang ingin bangkit untuk menempuh jalan paling lurus sekaligus paling pintas dengan mengikuti Islam.
Ikhwanul Muslimin sama sekali tidak mengkhususkan seruan dakwah ini kepada satu negeri Islam saja. Dakwah ini adalah seruan yang kami gaungkan kepada segenap pemimpin negara yang mayoritas rakyatnya memeluk agama Islam. Betapa Ikhwanul Muslimin menantikan saat di mana negeri-negeri Islam bersatu membangun masa depannya di atas pilar-pilar yang kokoh dan teguh, yang akan mengantar mereka menuju kemajuan, kesejahteraan, dan kejayaan.
Waspadailah Penyimpangan
Yang paling dikhawatirkan oleh Ikhwanul Muslimin adalah saat di mana bangsa-bangsa Islam di Timur terjerumus ke dalam lembah taklid, di mana mereka menambal-sulam kebangkitannya dengan sistem-sistem yang lapuk dan usang, yang telah menjadi puing reruntuhan, sebagaimana pengalaman sejarah telah membuktikan hal itu; yakni kerusakan dan ketidakrelevanannya.
Ada hukum-hukum umum yang berlaku bagi setiap komunitas masyarakat Islam. Oleh karena itu hukum-hukum yang kita terapkan haruslah bersumber dari Al-Qur’an. Setiap negeri Islam yang secara resmi menyatakan Islam sebagai agamanya harus mendasarkan semua materi perundang-undangannya pada kaidah-kaidah pokok yang digariskan oleh Al-Qur’an. Sehingga setiap materi hukum yang tidak dibenarkan oleh Islam harus segera dihapus untuk menghilangkan kontradiksi dalam undang-undang dasar negara.
Perbaikilah Hukum
Setiap umat tentu memiliki hukum. Bagi kaum muslimin hukum itu harus bersumber dari syariat Islam, dari AI-Qur’an dan sesuai dengan dasar-dasar yang terdapat dalam fiqih Islam. Sebab sesungguhnya dalam syariat Islam dan dalam hukum yang kemudian lahir daripadanya terkandung semua dimensi yang dibutuhkan oleh umat. Maka hanya dengan hukum itu mereka akan mencapai hasil yang paling baik dan sempurna. Materi-materi hukum pidana Islam sesungguhnya sangat ampuh untuk membasmi semua bentuk kejahatan dan kriminalitas, betapapun dalamnya naluri kejahatan terpendam dalam diri para pelaku kejahatan.
Dengan menerapkan hukum Allah, sesungguhnya negara itu justru melepaskan diri dari semua pengalaman pahit yang mungkin timbul sebagai akibat kegagalan hukum buatan manusia. Pengalaman sejarah telah membuktikan itu, dan pemikiran-pemikiran hukum modern juga telah menyerukan hal yang sama. Benarlah Allah yang telah berfirman,
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah:44)
Perbaikilah Wajah Sosial
Setiap umat memiliki wajah kehidupan sosial yang dengan sadar diayomi oleh pemerintah, diatur oleh sistem hukum, dan dilindungi oleh penguasa. Negara-negara Islam di Timur harus menjadikan seluruh rangkaian fenomena kehidupan sosial itu sejalan dengan etika dan ajaran Islam. Jika prostitusi resmi itu merupakan aib besar bagi semua bangsa yang menghargai keluhuran budi, maka bagaimana pula dengan umat Islam yang ajaran agamanya mengharuskan mereka memerangi setiap bentuk prostitusi dan menghukum keras setiap pelaku zina?
“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman.” (An-Nur:2)
Toko-toko penjual minuman keras yang bertebaran di sepanjang jalan raya, papan-papan iklan minuman keras dan pelacuran yang terpampang jelas di setiap sudut jalan; adalah serangkaian wajah sosial yang ditentang dan diharamkan Islam.
Perangilah Hedonisme
Hedonisme (orientasi hidup yang memburu kesenangan) kini menjadi paham yang begitu laris dianut oleh masyarakat. Tiap hari mereka hanya bersenang-senang, hura-hura di jalan-jalan, di klab-klab malam, tempat-tempat wisata musim panas; yang semua itu bertentangan dengan wasiat Islam agar kita selalu memiliki sikap iffah, luhur, suci, senantiasa sungguh-sungguh dalam semua urusan, dan meninggalkan semua bentuk keterlenaan.
“Sesungguhnya Allah mencintai (mereka yang selalu berusaha melakukan dan menyelesaikan) urusan-urusan yang besar, dan membenci (mereka yang selalu berusaha melakukan dan menyelesaikan) urusan-urusan yang remeh (rendah nilainya).”
Umat Islam harus berusaha sekuat tenaga untuk membasmi semua gejala kerusakan sosial. Mereka tidak boleh lemah dan berhenti melakukan itu.
Aturlah Pendidikan
Setiap umat dan bangsa Islam tentu memiliki strategi pendidikan guna membangun pemuda dan generasi masa depan yang tangguh yang merupakan tumpuan hidup umat baru itu. Oleh karenanya sistem pendidikan harus dibangun di atas kerangka dasar yang kuat yang memungkinkan generasi muda memiliki imunitas keislaman, kesempurnaan akhlaq, pengetahuan yang memadai tentang ajaran-ajaran agama mereka, dan kebanggaan terhadap kejayaan peradabannya yang luas.
Inilah sebagian kecil prinsip yang diperjuangkan Ikhwanul Muslimin. Mereka menyeru umat Islam, baik penguasa maupun rakyat, pemerintah maupun bangsa, agar membangun proses kebangkitannya di atas dasar prinsip-prinsip itu. Dalam rangka mencapai tujuan Islam yang agung itu mereka menempuh satu cara; yakni menjelaskan keistimewaan ajaran-ajaran Islam. Sehingga bila suatu saat umat telah menerima dan meyakininya, maka dengan sendirinya mereka akan merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.”‘ (Yusuf:108)
Dayagunakanlah Persaudaraan Kalian
Islam menyeru para pemeluknya dengan suatu seruan,
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah keadaanmu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (Ali Imran:103)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara.” (A]-Hujurat:10)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah:71)
Rasulullah saw. juga bersabda,
“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.”
Begitulah generasi Islam pertama dalam memahami makna persaudaraan dalam Islam yang agung ini. Iman dalam dada telah menumbuhkan rasa cinta, kedekatan, dan persaudaraan yang paling luhur dan abadi di antara mereka. Mereka ibarat satu tubuh, satu hati, dan satu tangan. Dan inilah karunia Allah yang selalu diingatkan kepada mereka,
“Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal:63)
Aplikasi
Para Muhajirin yang telah pergi meninggalkan keluarga dan tanah tumpah darahnya (Mekah) untuk menyelamatkan agamanya, akhirnya mendapati para pemuda Yatsrib menanti kedatangan mereka dengan penuh rindu dan kehangatan cinta. Mereka semua bergembira menyambutnya, walaupun mereka tidak mengenalnya sebelum itu, tak ada hubungan kekeluargaan yang mengikat mereka, dan tak ada ambisi atau kepentingan tertentu yang mereka harapkan.
Tapi begitulah, aqidah Islam membuat mereka (kaum Anshar) merindukan dan menyatu dengan kehidupan kaum Muhajirin. Orang-orang Anshar menganggap kaum Muhajirin sebagai belahan jiwanya yang tak terpisahkan, maka sesaat setelah tiba di masjid, suku Aus dan Khazraj segera mengelilingi mereka. Masing-masing orang dari mereka mengajak kaum Muhajirin untuk tinggal di rumahnya, dan untuk itu mereka bersedia mengorbankan harta, jiwa, serta kepentingan keluarganya, Situasinya semakin mengharukan ketika mereka berkeras dengan permintaan mereka, hingga akhirnya rumah kediaman kaum Muhajirin ditetapkan berdasarkan undian. Imam Bukhari meriwayatkan,
“Tak seorang pun Muhajirin yang menetap di rumah seorang Anshar melainkan dengan undian.”
Begitulah, sehingga Allah berkenan mengabadikan keluhuran budi kaum Anshar itu dalam Al-Qur’an agar dikenang oleh manusia sepanjang zaman. Hingga kini keluhuran itu masih tampak bersinar terang di permukaan wajah zaman. Tentang kaum Anshar Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan mereka (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr:9)
Begitulah putra-putra Islam selanjutnya menapaki tangga keluhuran khususnya generasi pertama yang jiwa-jiwa mereka dipenuhi oleh rasa persaudaraan imani. Pada mereka tak ada perbedaan antara Muhajir dan Anshar, tak ada jarak antara orang Mekah dengan orang Yaman. Bahkan dalam salah satu sabdanya, Rasulullah saw. pernah memuji kabilah Asy’ariyah dari Yaman.
“Sebaik-baik kaum adalah kaum Asy’ariyah, bila mereka kesusahan dalam perjalanan atau dalam keadaan menetap, maka mereka mengumpulkan semua yang mereka miliki, lalu mereka simpan di tempat perbekalan mereka, kemudian membaginya secara merata.”
Bila Anda membaca Al-Qur’an, Sunah Rasul yang agung, dan sejarah para leluhur dari putra-putra terbaik agama ini, niscaya akan Anda temukan semua yang dapat menyejukkan mata dan menenteramkan telinga dan hati Anda.
Persaudaraan Itu Memaklumkan Kemanusiaan
Aqidah Islamiyah telah membuahkan dua hal yang pasti akan kita petik, dan karenanya harus aku jelaskan pada kalian tentang kelezatan dan kebaikan yang dibawanya. Pertama, aqidah ini membuahkan gerakan pembebasan Islam yang tiada taranya sepanjang sejarah; baik dalam hal tujuan, cara, manajemen gerakan, maupun hasil-hasilnya. Seorang pembebas Muslim bergerak membebaskan suatu negeri, tidak ada motivasi lain kecuali demi menegakkan kebenaran dan menerangi segenap sudut negeri itu dengan cahaya Al-Qur’an. Ketika jiwa-jiwa penduduk negeri itu telah diterangi oleh cahaya petunjuk Ilahi, maka lenyaplah segenap perbedaan dan lenyap pula segala kezhaliman, yang tinggal hanyalah keadilan, cinta kasih, dan persaudaraan. Tak ada lagi istilah “pembebas yang menang” dan “musuh yang kalah”. Mereka semua telah menjadi saudara, saling mengasihi dan saling mencintai. Dalam pada itu, ide kebangsaan tak lagi relevan, lebur meleleh bagai salju tertimpa teriknya sinar mentari.
Sebelum ia menyerang siapa pun yang hendak diserang, mengalahkan siapa pun yang hendak dikalahkan, sesungguhnya sang pembebas muslim (mujahid) telah menjual diri dan keluarganya kepada Allah, melepas semua bentuk fanatisme kebangsaan dengan segenap atributnya. Mereka tak lagi berperang dan menang demi kebangsaan dan nasionalisme, mereka melakukan itu setulusnya untuk Allah semata, Dzat yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebuah riwayat tentang puncak keikhlasan dan kebersihan diri dari hawa nafsu tertera dengan indah dalam sebuah sabda Rasulullah saw. berikut ini,
Seorang lelaki datang dan berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasul, sesungguhnya aku suka berjihad di jalan Allah dan aku senang bila orang lain melihat sepak terjangku,” Rasulullah saw. terdiam dan tidak menjawab, hingga turunlah firman Allah,
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi:110)
Lihatlah, bagaimana Islam menempatkan obsesi seseorang kepada pujian dan sanjungan sebagai syirik kecil yang harus dibersihkan, untuk kemudian menggantinya dengan cita-cita luhur? Adakah keikhlasan yang melebihi saat ketika seseorang melupakan segala kepentingan dirinya demi tercapainya cita-cita perjuangan? Apakah Anda mengira bahwa seseorang yang diwajibkan untuk membersihkan dirinya dari segenap hawa nafsu, menekan semua emosi dan kecenderungannya, agar jihadnya sepenuhnya hanya untuk Allah, masih akan berpikir untuk berjihad demi kebangsaan dan nasionalisme? Demi Allah, tidak. Tidak akan pernah.
Orang-orang dikalahkan oleh mereka (para pembebas muslim), yang telah ditakdirkan untuk berbahagia dengan Islam dan selamat dengan tuntunannya, sama sekali tidak membiarkan sang pembebas menguasai negerinya dan merampas semua kekayaannya. Tapi ia membiarkan apa yang ia biarkan karena ia telah melebur jiwanya dengan jiwa Sang Pembebas, sembari sama-sama berseru, “Hakku adalah hakmu, kewajibanku adalah kewajibanmu. Hanya Kitab Allah yang berhak menjadi hakim di antara kita.” Maka mereka melebur bersama untuk menggapai cita-cita yang sama, dan berkorban demi memperjuangkan agama yang sama. Mereka membiarkan apa yang mereka biarkan agar cahaya Allah menerangi segenap kemanusiaan, agar cahaya Al-Qur’an memenuhi segenap ruang kehidupan ini. Hanya dengan cara ini, manusia dapat menemukan semua kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemajuan.
Tapal Batas Negeri Islam
Buah keduanya adalah bahwa persaudaraan Islam telah menjadikan setiap muslim percaya bahwa setiap jengkal tanah di mana di situ terdapat manusia yang memeluk agama Islam, maka jengkal tanah itu adalah bagian dari tanah air Islam. Karenanya Islam mewajibkan setiap mereka bekerja untuk melindunginya dan berupaya membahagiakan warganya, itulah tapal batas negeri Islam. Tapal batas yang terlepas dari sekat-sekat geografis dari apa yang disebut tanah tumpah darah. Negeri Islam itu adalah sebentuk kedaulatan ideologi agung dan agama suci; ia merupakan sekumpulan hakikat yang dijadikan Allah sebagai petunjuk dan cahaya bagi dunia ini. Dan ketika Islam menanamkan makna dalam diri pemeluknya, ia segera menurunkan sebuah kewajiban menjaga dan melindungi setiap jengkal tanah Islam dari berbagai bentuk agresi, membebaskannya dari cengkraman penjajah, dan menjaganya dari ambisi keserakahan para imperialis.
Jalan Panjang
Saya berharap bahwa kalimat-kalimat ini telah cukup menjelaskan tujuan dakwah Ikhwanul Muslimin, dan sedikit banyak menerangkan jalan yang akan ditempuh oleh mereka dalam mencapai tujuan itu. Sebenarnya saya telah menjelaskan masalah ini kepada mereka yang masih menyimpan cinta dan ghirah terhadap Islam, dan bercita-cita untuk mengembalikan kejayaannya. Saya menerangkannya dalam sebuah tulisan yang berjudul, “Kepada Apa Kami Menyeru Manusia”.
Mereka pun telah mendengarkannya dengan seksama, memahami makna kata demi kata, hingga akhirnya kami sepakat dengan tujuan besar berikut metodenya yang efektif itu. Betapa dahsyat keterkejutan saya ketika saya melihat ada semacam kesepakatan umum di kalangan mereka bahwa “jalan ini amatlah panjang.” Aliran-aliran pemikiran destruktif yang begitu kuat mencengkram negeri ini telah melahirkan keputusasaan dalam jiwa umat.
Agar para pembaca tidak perlu menemukan perasaan yang sama seperti yang dirasakan sebelumnya oleh mereka yang pernah berbicara tentang masalah ini, saya ingin mengemukakan kalimat-kalimat sarat dengan harapan, penuh dengan keyakinan akan datangnya keberhasilan, insya Allah. Semua urusan itu ada di tangan Allah. Untuk itulah saya ingin membatasi tema ini dengan dua sudut pandang positif.
Perspektif Filsafat Sosial
Para pakar ilmu sosial menyatakan bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini akan menjadi kenyataan hari esok. Pandangan itu dibenarkan oleh realitas dan dikuatkan dengan banyak alasan, bahkan sesungguhnya kemajuan kemanusiaan dan perjalanannya menuju puncak kejayaan tersimpan dalam pandangan ini. Siapa yang dapat menyangka sebelumnya kalau para ilmuwan akan sampai pada penemuan-penemuan dahsyat seperti yang kita lihat sekarang? Para ilmuwan itu sendiri pada awalnya tidak percaya, sampai akhirnya kenyataan membuat mereka yakin. Sebenarnya banyak contoh yang dapat dikemukakan untuk membuktikan itu, namun pandangan ini telah menjadi aksioma dan karenanya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Perspektif Sejarah
Kebangkitan semua bangsa di dunia selalu berawal dari kelemahan; sesuatu yang sering membuat orang percaya bahwa kemajuan yang mereka capai kemudian adalah suatu bentuk kemustahilan. Tapi di balik anggapan kemustahilan itu, sejarah sesungguhnya telah mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran, keteguhan, kearifan, dan ketenangan dalam melangkah, telah mengantarkan bangsa-bangsa lemah itu merangkak dari ketidakberdayaan menuju kejayaan.
Siapakah yang bisa percaya sebelumnya, bahwa di tengah gurun pasir jazirah Arab yang gersang dan kering kerontang itu akan memancar seberkas cahaya kearifan, di mana dengan kekuatan spiritual dan kemampuan berpolitik pemeluknya dapat menguasai semua kekuatan adidaya dunia? Siapakah yang percaya bahwa tokoh lembut seperti Abu Bakar yang sering membingungkan rakyatnya karena sifat lembutnya itu, tiba-tiba saja mengirim pasukan untuk memerangi para pembangkang, pemberontak dan kaum murtad, hingga akhirnya ia berhasil menyelamatkan Daulah Islamiyah dari ancaman perpecahan dan mengembalikan hak Allah dalam kewajiban zakat? Siapakah yang percaya sebelumnya, bahwa Shalahuddin Al-Ayyubi yang berjuang dalam waktu yang lama dalam perang Salib, akhirnya dapat mengalahkan dan mengusir raja-raja Eropa, sekalipun jumlah mereka jauh lebih banyak. Bahkan sekalipun duapuluhlima raja dari duapuluhlima kerajaan bersatu menyerangnya?
Itulah sejarah lama umat Islam. Dalam sejarah modern pun terdapat banyak fakta. Siapakah yang bisa percaya sebelumnya, bahwa raja Abdul Aziz Alu Su’ud dapat mengembalikan kerajaannya dan menjadi tumpuan harapan dunia Islam untuk mengembalikan persatuan dan kejayaannya, setelah sebelumnya keluarga dan kerajaan terampas? Siapakah yang dapat percaya sebelumnya, bahwa buruh Jerman yang bernama Hitler itu, suatu ketika dapat memiliki kekuatan dahsyat yang menggentarkan dunia?
Adakah Jalan Lain?
Ada dua pandangan negatif yang juga melahirkan hasil seperti ini, serta menuntun hati mereka yang memiliki ghirah dengan kuat dan benar.
Pertama, bahwa sekalipun jalan ini sangat panjang dan berliku, tapi tak ada pilihan lain selain jalan ini. Tidak ada jalan selain itu yang dapat ditempuh untuk membangun kejayaan umat. Pengalaman telah membuktikan kebenaran anggapan ini.
Kedua, bahwa seorang pekerja pertama kali harus bekerja menunaikan kewajibannya, baru kemudian boleh mengharap hasil kerjanya. Jika ia telah bekerja, berarti ia telah menunaikan kewajiban, dan pasti kelak akan mendapat balasan dari Allah. Tak ada keraguan dalam hal ini, selagi syarat-syaratnya terpenuhi. Sedang masalah hasil, hal itu diserahkan kepada Allah. Boleh jadi peluang kemenangan itu datang tanpa terduga, sehingga ia memperoleh hasil yang sangat memuaskan dan penuh berkah. Sementara bila ia tidak bekerja, ia akan mendapat dosa karena tidak berbuat, ia juga akan kehilangan pahala jihad, dan tentu saja dia sama sekali tidak akan mendapatkan hasil di dunia. Jadi, manakah di antara kedua golongan itu yang terbaik?
Al-Qur’an telah menegaskan hal itu dengan jelas,
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan agar mereka bertaqwa?” Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Al-A’raf:164-165)
Kisah Kebangkitan Sebuah Umat
Kelemahan
Kita sekarang berada di depan sebuah kekuatan adidaya yang begitu pongah dengan kedigdayaannya. Dia memperbudak bangsa-bangsa lain dan menjadikannya anjing-anjing pelayan. Tetapi Allah ingin mengembalikan kemerdekaan dan kehormatan umat itu yang lama terampas. Ingin mengembalikan kejayaan dan wibawa umat yang lama hilang. Maka awal cahaya berasal dari fajar kemerdekaan umat itu sebagai terbitnya mentari pemimpin agung mereka, Musa a.s. untuk menyinari semesta, sebagai bayi yang masih menyusu,
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Firaun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi, dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi.” (Al-Qashash:3-6)
Kepemimpinan
Sekarang kita berada di depan sang pemimpin yang mulai dewasa dan matang. Ia tumbuh besar di bawah bimbingan llahi, jiwanya memberontak pada semua bentuk tirani dan muak melihat setiap kediktatoran. Kemudian ia pun pergi membawa diri dan kebebasannya di mana kelak Allah menumbuhkannya sebagai pembawa risalah-Nya, menjadikannya sebagai tumpuan harapan pembebasan bangsanya. Lalu kembalilah sang pemimpin dengan penuh dengan iman dan keyakinan, bersiap menghadap sang tiran besar. Dengarlah, ia datang menuntut agar sang tiran besar itu segera mengembalikan kebebasan dan kehormatan bangsanya, beriman dan mengikuti risalah yang diembannya.
Sebuah sindiran pedas diceritakan Al-Qur’an dari lisan Rasul yang agung dengan amat indahnya,
“Itulah budi baik yang engkau limpahkan padaku, bahwa engkau telah memperbudak Bani Israel.” (Asy-Syu’ara:22)
“Wahai tiran besar yang zhalim, penguasa hamba Allah (bukan hambamu), apakah merupakan sebuah budi baik kamu kepadaku yang kenyataannya justru kamu telah memperbudak, melecehkan, dan menghina-dina bangsaku?” Itulah auman kebenaran yang menggelegar dari mulut sang Nabi yang mulia, maka kemudian terguncanglah singgasana kerajaan Firaun:
Maka datanglah kamu berdua kepada Firaun dan katakanlah, “Sesungguhnya kami adalah utusan Tuhan semesta alam.” Firaun menjawab, “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas budi.” Berkata Musa, “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhan memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul.” (Asy-Syu’ara:16-21)
Pertarungan
Kini kita menyaksikan amarah dan angkara murka kekuatan tirani atas kebenaran. Ia meronta, memberontak, membalas dendamnya, menyiksa para pendukung kebenaran. Di saat yang sama, kita menyaksikan bagaimana para pendukung kebenaran itu bersabar, dan bagaimana para pemimpin mereka menjauhkan mereka dari mimpi-mimpi manis agar kelemahan tak menemukan jalan menuju hati mereka.
Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Firaun (kepada Firaun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?” Firaun menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” Musa berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, “Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah dipusakakan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al-A’raf:127-128)
Iman
Alangkah indahnya menyaksikan teladan abadi itu, dari para pengikut sang pemimpin itu, yang dakwahnya telah mereka imani; tentang keteguhan dan kesabaran, ketegaran memegang kebenaran, mengesampingkan apa saja, bahkan hidup mereka sendiri demi iman dan aqidah. Begitulah mereka maju menentang sang tiran besar dengan jantan dan penuh percaya diri,
“Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya dapat memutuskan pada kehidupan dunia ini saja. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami , agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).” (Thaha:72-73)
Kemenangan
Akhirnya, kini kita menyaksikan babak kelima kisah itu. Tahukah Anda, apakah itu? Kesuksesan, keberuntungan, kemenangan dan berita gembira menghampiri orang-orang yang tertindas itu. Ia adalah mimpi yang telah menjadi kenyataan bagi para pemimpi. Ia adalah gemuruh kebenaran yang nyata, yang gaunnya membahana di segenap sudut mayapada,
“Wahai Bani Israel, sesungguhnya Kami telah menyelamatkan kamu sekalian dari musuhmu.” (Thaha:80)