Pages

Sabtu, 29 September 2012

Isra Mi'raj


Isra’ ialah perjalanan Nabi saw dari Masjidil al-Haram di Mekkah ke Masjidil al-Aqsha di al-Quds. Mi’raj ialah kenaikan Rasulullah saw menembus beberapa lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluk, Malaikat, manusia dan jin . Semua itu ditempuh dalam sehari semalam.

            Terjadi silang pendapat tentang sejarah terjadinya mu’jizat ini. Apakah pada tahun kesepuluh kenabian ataukah sesudahnya ? Menurut riwayat Ibnu Sa’d di dalam Thabaqat-nya peristiwa ini terjadi delapan belas bulan sebelum hijrah.

            Jumhur kaum Muslim sepakat bahwa perjalanan ini dilakukan Rasulullah saw dengan jasad dan ruh. Karena itu, ia merupakan salah satu mu’jizatnya ynag mengagumkan yang dikaruniakan Allah kepadanya.

            Kisah perjalanan ini disebutkan oleh Bukhari dan Muslim secara lengkap di dalam shahihnya. Disebutkan bahwa dalam perjalanan ini Rasulullah saw menunggang Buroq yakni satu jenis binatang yang lebih besar sedikit dari keledai dan lebih kecil sedikit dari unta. Binatang ini berjalan denganlangkah sejauh mata memandang. Diebutkan pula bahwa Nabi saw memasuki Masjidil l-Aqsha lalu shalat dua raka’at di dalamyna. Kemudian Jibril datang kepadanya seraya membawa segelas khamar dan segelas susu. Lalu Nabi saw memilih susu. Setelah itu Jibril berkomentar ,“Engkau telah memilih fitarh.“ Dalam perjalanan ini Rasulullah saw naik ke langit pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai ke Sidratul-Muntaha. Di sinilah kemudian Allah mewahyukan kepadanya apa yang telah diwahyukan di antaranya kewajiban shalat lima waktu atas kaum Muslim, dimana pada awalnya sebanyak lima puluh kali sehari semalam.

            Keesokan harinya Rasulullah saw menyampaikan apa yang disaksikan kepada penduduk Mekkah. Tetapi oleh kaum musyrik berita ini didustakan dan ditertawakan. Sehingga sebagian mereka menantang Rasulullah saw untuk menggambarkan Baitul -maqdis, jika benar ia telah pergi dan melakukan shalat di dalamnya. Padahal ketika menziarahinya, tidak pernah terlintas dalam pikiran Rasulullah saw untuk menghafal bentuknya dan menghitung tiang-tiangnya. Kemudian Allah swt memperlihatkan bentuk dan gambar Baitul-maqdis di hadapan Rasulullah sw sehingga dengan mudah beliau menjelaskannya secara rinci.

            Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
„Ketika kaum Quraisy mendustakan aku, aku berdiri di Hijr (Isma’il), lalu Allah memperlihatkan Baitul-Maqdis kepadaku. Kemudian aku kabarkan kepada mereka tentang tiang-tiangnya dari apa yang aku lihat.

            Berita ini oleh sebagian kaum musyrik disampaikan kepada Abu Bakar dengan harapan dia akan menolaknya. Tetapi ternyata Abu Bakar menjawab,“Jika memang benar Muhammad yang mengatakannya, maka dia telah berkata benar dan sungguh aku membenarkan lebih dari itu.“

            Pada pagi harinya di malam Isra’ itu Jibril datang kepada Rasulullah saw mengajarkan cara shalat dan menjelaskan waktu-waktunya. Sebelum disyariatkannya shalat lima aktu , Rasulullah saw melakukan shalat dua ra’kaat di pagi hari dan dua raka’at di sore hari sebagaimana dilakukan oleh Ibrahim as.

Beberapa Ibrah

Pertama : Penjelasan tentang Rasul dan Mu’jizat
Banyak penulis yang begitu gemar menggambarkan kehidupan Rasulullah saw sebagai kehiduapn manusia biasa, jauh dari hal-hal ynag luar biasa dan mu’jizat. Bahkan tidak memperhatikan sama sekali adanya kemu’jizatan dalam kehidupan nabi saw dengan berdalil kepada ayat :
„Katakanlah ,“Sesungguhnya mu’jizat itu hanya berada di sisi Allah .....“ QS al-An’am : 109

Gambaran seperti ini akan memberikan kesan kepaa para pembaca bahwa Sirah Rasulullah saw sama sekali jauh dari mu’jizat dan bukti-bukti yang biasanya digunakan Allah untuk mendukung para Nabi-Nya yang jujur dan benar.

Jika kita telusuri sumber „teori“ tentang Rasulullah saw ini ternyata kita dapati berasal dari pemikiran sebagian orientali dan peneliti asing, seperti Gustav Lobon, August Comte dan Goldzieher dan teman-temannya. Timbulnya teori ini disebabkan  oleh tidak adanya keimanan kepada pencipta mu’jizat. Sebab jika keimanan kepada Allah telah menghujam di dalam hati, maka akan mudah untuk meyakini segala sesuatu. Bahkan tidak akan ada lagi di dunia ini sesuatu yang berhak disebut mu’jizat.

Tragisnya teori ini telah disambut baik oleh sebagian pemikir muda Muslim, seperti Syaikh Muhammad Abduh, Muhammad Farid Wajdi dn Husain Haikal. Mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran asing  ini hanya karena tertipu oleh kelicikan tipu daya musuh dan fenomena kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat.

Kemudian pemikiran-pemikiran asing yang dikemukakan oleh sebagian pemikir muda Muslim ini oleh para musuh Islam, khususnya orientalis , dijadikan alat utuk membuka medan-medan dan ladang-ladang baru untuk melakuan ghazwul fikri dan menimbulkan keraguan kaum Muslim terhadap agamanya . Senjata bagi serbuan langsung terhadap aqidah Islamiyah dan penanaman pemikiran-pemikiran sekuler di benak kaum Muslimin.

Demikianlah mereka mulai memberikan sifat-sifat tertentu kepada Rasulullah saw , seperti heroik, jenius, pahlawan, dan pemimpin dalam arti kata yang serba menakjubkan. Pada waktu ynag sama mereka menggambarkan kehidupan umum Rasulullah saw jauh dari mu’jizat dan hal-hal yang luar biasa yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, sehingga dengan demikian akan tercipta suatu gambaran baru tentang diri Nabi saw, di dalam benak kaum Muslim. Kadang mereka menamakan Rasulullah saw sebagai seorang jeius, atau seorang komandan, atau seorang pahlawan. Tetapi sesuatu yang tidak boleh muncul sama sekali adalah gambaran bahwa Muhammad saw sebagai seorang Nabi dan Rasul. Sebab semua hakekat kenabian dan segala hal yang berkaitan dengannya seperti wahyu, mu’jizat dan hal-hal yang luar biasa lainnya telah dibunag melalui penonjolan istilah-istilah tertentu, seperti jenius dan pahlawan yang jauh dari mu’jizat ke dalam keranjang mitologi atau dongeng-dongeng yang sudah usang. Ini karena mereka menyadari bahwa fenomena wahyu dan kenabian merupaakan puncak kemu’jizatan.

Pada saat itulah akan muncul anggapan bahwa sebab kemajuan dakwah Rasulullah saw dan banyaknya pengikut yang setia kepadanya, adalah kaerne faktor kejeniusan dan kepahlawanannya. Perhatikanlah !Sesungguhnya sasaran yang ingin mereka capai ini nampak jelas ketika mereka memasarkan istilah „Muhammadaniest“ sebagai danti dari Muslimin.

Tetapi sejauh manakah kebenaran gambaran tentang diri Muhammad saw ini dalam kacamata kajian yang objektif dan logis?

Pertama, jika kita perhatikan kembali fenomena wahyu ynag nampak dengan jelas pada kehidupan Rasulullah saw (pada bab terdahulu telah dijelaskan secara rinci), nyatalah bagi kita bahwa sifat-sifat yang paling menonjol dalam kehidupannya ialah sifat kenabian. Kenabian adalah termasuk nilai-nilai keghaiban yang tidak mengikuti kriteria-kriteria kita yang bersifat empirik. Dengan demikian arti mu’jizat yang diluar kebiasaan itu tetap ada pada pangkal keberadaan Nabi saw. Tidak mungkin kita menolak mu’jizat dan hal-hal yang luar biasa dari kehidupan Nabi saw , kecuali dengan menghancurkan makna kenabiasn itu sendiri dari kehidupannya. Ini berarti juga penolakkan terhadap agama itu sendiri, kendatipun kesimpulan ini tidak disebutkan secara eksplisit oleh sebagian orientalis dan cukup dengan menjelaskan kejeniusan dan keberanian Rasulullah saw . Mereka tidak perlu lagi menjelaskan kesimpulan karena telah cukup dengan muqaddimah. Kesimpulan akan terbentuk secara otomatis setelah diteirma muqaddimahnya.

Namun banyak pula di antara mereka yang seara terus terang menyebutkan „kesimpulan“ karena kebencian yang tak tertahankan lagi. Seperti Syibli Syamil ketika menamakan keimanan kepada agama dengan „keimanan kepada mu’jizat yang mustahil“

Dengan demikian tidak ada gunanya lagi membahas keingkaran atau keimanan mereka terhadap mu’jizat , karena sejak awal mereka sudah meragukan atau menolak dasar agama itu sendiri.

Kedua, jika kita perhatikan Sirah kehidupan Rasulullah saw , maka akan kita dapati bahwa Allah telah memberikan banyakmu’jizat kepada Nabi saw. Keberadaan dan kebenaran mu’jizat-mu’jizat ini tidak dapat kita tolak begitu saja, karena peristiwa-peristiwa  mu’jizat itu disampaikan kepada kita dengan sanad-sanad yang shahih dan mutawatir yang mencapai tingkatan pasti dan yakin.

Di antara peristiwa memancarnya air dari jari-jari Rasulullah saw yang mulia. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Bukhari di dalam bab Wudhu’, Muslim di dalam bab al-Faha’il (keutamaan), Malik di dalam al-Muqaththa’, dan imam-imam hadits lainya dengen beberapa jalan yang berlainan. Sehingga az-Zarqani meriwayatkan perkataaan al-Qurthubi : Sesungguhnya peristiwa memancarnya air dari jari-jari Rasulullah saw berulang-ulang di beberapa tempat. Peristiwa ini juda diriwayatkan dari jalan yang banyak, yang semuanya mencapai tingkatan pasti, bahkan dapat dikatakan mutawatir ma’nawi.

Mu’jizat Rasulullah saw lainnya ialah peristiwa terbelahnya bulan pada masa Nabi saw ketika orang-orang musyrik memintanya. Perisitwa ini diriwayatkan oleh Bukhari di dalam bab Ahaditsul-Anbiya, Muslim di dalam bab Shifatul - Qiyamah dan imam -imam hadits lainnya. Berkata Ibnu Katsir ;“Peristiwa ini diriwayatkan oleh hadits-hadits yang mutawatir dengan sanad-sanad yang shahis.“ Para ulama telah sepakat bahwa peristiwa ini terjadi pada masa Nabi saw dan merupakan salah satu mu’jizat yang mengagumkan.

Dan peristiwa Isra’ Mi’raj yang sedang kita bahas ini juga merupakan salah satu mu’jizat Nabi saw, bahkan sebagian besar kaum Muslimin telah sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj ini termasuk mu’jizat Nabi saw yang terbesar.

Tetapi anehnya orang-orang yang memberikan sifat jenius kepada Rasulullah saw dan menolak apa yang disebut mu’jizat dari kehidupannya , berpura-pura tidak mengetahui hadits-hadits mutawatir yang mencapai tingkat derajat Qath’i 8pasti) ini: Mereka tidak pernah mau menyinggungnya sama sekali, bai dalam konteks positif ataupun negatif. , seolah-olah kitab-kitab hadits tidak pernah memuatnya. Padahal masing-masingnya diriwayatkan lebih dari sepuluh jalan (sanad).

Penyebab utama daris ikap tidak mau tahu ini ialah karena mereka ingin menghindari kemusykilan yang akan mereka hadapi manakala membaa hadits-hadits tentang mu’jizat ini. Sebab hadits-hadits ini bertentangan diametral dengan teori ang ada di kepala mereka.

Ketiga, mu’jizat ialah sebuah kata yang jika direnungkan tidak memiliki definisi yang berdiri sendiri. Ia hanya suatu makna yang nisbi. Menurut istilah yang sudah berkembang, mu’jizat ialah setiap perkara yang luar biasa. Sedangkan  setiap kebiasaan pasti akan berkembang mengikuti perkembangan jaman dan berlainan sesuai dengan perbedaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Mungkin sesuatu pada masa tertentu, dianggap sebagai mu’jizat pada masa sekarang sudah menjadi hal biasa. Atau mungkin sesuatu yang biasa di lingkungan orang-orang yang sudah maju, masih menjadi mu’jizat di kalangan orang-orang primitif.

Tetapi yang benar, bahwa sesuatu yang biasa dan yang luar biasa itu pada dasarnya adlah mu’jizat.

Galaksi ada mu’jizat planet adalah mu’jizat , hukum gaya tarik aglaah mu’jizat , peredaran darah adalah mu’jizat, ruh adalah mu’jizat dan manusia itu sendiri adlaah mu’jizat. Sungguhn tapat ketiak seorang ilmuwan Prancis, chatubriant menamakan manusia ini dengan makhluk metafisk, yakni makhluk ghaib yang misterius.

Hanya saja , manusia telah melupakan karena terlalu lama dan sering menghadapi dan merasakannya segi mu’jizat dan nilainya. Kemudian mengira , karena kebodohannya, bahwa mu’jizat ialah sesuatu yang mengejutkan dan di luar kebiasaan ini dijadikan ukuran keimanan atau penolakan terhadap sesuatu . Ini adalah kebodohan manusia yang aneh pda abad ilmu pengetahuan dan teknologi.

Seandainya manusia mau berpikir lebih jauh sedikit, niscaya akannampak baginya bahwa Allah yang menciptakan mu’jizat seluruh alam semesta ini tidak pernah kesulitan untuk menambahkan mu’jizat lain, atau mengganti sebagian sistem yang telah berjalan di dalam semsta ini. Seorang orientalis , William Johns pernah sampai kepada pemikiran seperi ini ketika mengatakan :
„Kekuatan yang telah menciptakan alam semesta ini tidak pernah kesulitan untuk membuang atau menambahkan sesuatu kepadanya. Adakah mudah untu dikatakan bahwa masalah ini tidak dapat digambarkan oleh akal. Tetapi yang harus dikatakan bahwa masalah ini tidak tergambarkan, bukan tidak dapat digambarkan sampai ke tingkat adanya alam.“

Maksudnya seandainya alam ini tidak ada, kemudian dikatakan kepada seseorang yang mengingkari mu’jizat dan hal-hal ynag luar biasa, dan tidak dapat menggambarkan keberadaannya. Akan ada alam. Niscaya dia akan langsung menjawab,“Ini tidak mungkin dapat digambarkan.“ Penolakkannya terhadap gambaran seperti ini akan lebih keras ketimbang penolakkannya terhadap gambaran adanya mu’jizat.

Inilah yang harus dipahami oleh setiap Muslim, baik mengenai Rasulullah saw ataupun mu’jizat-mu’jizat yang dikaruniakan Allah kepadanya.


Kedua : Kedudukan Mu’jizat Isra’ dan Mi’raj di antara peristiwa-peristiwa yang telah dialami Rasullah saw pada waktu itu.

            Rasulullah saw telah merasakan berbagai penyiksaan dan gangguan yang dilancarkan kaum Quraisy kepadanya. Di antara penderitaan yang terakhir (sampai terjadinya Isra’ dan MI’raj) ialah apa yang dialaminya ketika hijrah ke Thaif ynag telah dijelaskan pada bab terdahulu. Perasaan tidak berdaya sebagai manusia, dan betapa perlunya kepada pembelaan, terungkapkan seluruhnya di dalam doa nabi saw yang diucapkannya setelah tiba di kebun kedua anak Rabi’ah. Suatu ungkapan yang menggambarkan Äubudiyah kepada Allah. Dlam munajatnya ini pula terungkap makna pengaduan kepada Allah dan keingingannya utnuk mendapatkan penjagaan dan pertolongan-Nya. Bahkan ia khawatir jangan-jangan apa yang dialaminya ini karena murka Allah kepadanya. Karenanya, diantara untaian doanya , terucapkan kalimat :
„Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua ini tidak aku hiraukan. „

            Kemudian setelah itu datanglah „undangan“ Isra’ dan Mi’raj sebagai   penghormatan dari Allah, dan penyegaran semangat dan ketbahannya. Di samping sebagai bukti bahwa apa yang baru dialaminya dalam perjanana hijtah ke thaif bukan karena Allah murka atau melepaskannya, tetapi hanya merupakan Sunnahtullah yang harus berlaku pada para kekasih-Nya . Sunnah dakwah Islamiyah pada setiap masa dan waktu.

Ketiga, Makna yang terkandung dalam perjalanan isra’ ke baitul-Maqdis

            Berlangsungnya pernajalan Isra’ ke Baitul-Maqdis dan Mi’raj ke langit ketujuh dlaam rentang waktu yang hampir bersamaan, menunjukkan betapa tinggi dan mulia kedudukan Baitul-Maqdis di sisi Allah. Juga merupakan bukti nyata akan adanya hubungan yang sangat erat antara ajran Isa as dan ajaran Muhammad saw. Ikatan agama yang satu yang diturunkan Allah kepada para Nabi as.

            Peristiwa ini juga memberikan isyarat bahwa kaum Muslim di setiap tempat dan waktu harus menjaga dan melindungi rumah suci (Baitul-Maqdis) ini dari keserakahan musuh-musuh Islam. Seolah-olah hikmah Ilahiyah ini mengingatkan kaum Muslim jaman sekarang agar tidak takut dan menyerah menghadapi kaum Yahudi yang tengah menodai dan merampas rumah suci ini, utuk membebaskannya dari tangan-tangan najis, dan mengembalikannya kepada pemiliknya kaum Muslimin.

            Siapa tahu ? Barang kali peristwia Isra’ yang agung inilah yynag telah mengerahkan ShalahudDin al -Ayyubi untuk mengerahkan segala kekuatannya melawan serbuan-erbuan Salib dan mengusirnya dari rumah Suci ini.

Keempat : pilihan Nabi saw terhadap minuman susu, ketika Jibril menawarkan dua jenis minuman , susu dan khamar, merupakan isyarat secara simbolik bahwa Islam adalah agama fitrah . Yakni agma yang aqidah dan seluruh huumnya sesuai dengan tuntutan fitrah manusia. Di dalam Islam tidak ada sesuatu  puny ang bertentangan dengan tabiat manusia. Seandainya fitrah berbentuk jasad , niscaya Islam akan menjadi bajunya yang pas.

            Faktor inilah yang menjadi rahaia mengapa Islam begitu cepat tersebar dan diterima manusia. Sebab betapapun tingginya budaya dan peradaban manusia, dan betapapun menusia telah mereguk kebahagiaan material, tetapi ia akan tetap menghadapi tuntutan pemenuhan fitrahnya. Ia tetap cenderung ingin melepaskan segala bentuk beban dan ikatan-ikatan yang jauh dari tabiatnya. Dan Islam adalah satu-satunya sistem yang dapat memenuhi semua tuntutan fitrah manusia.

Kelima, Jumhur Ulama baik salaf ataupun kahlaf telah sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan jasad dan ruh oleh Nabi saw.

            Imam Nawawi berkata di dalam Syarhu Muslim,“Pendapat yang benar menurut kebanyakan kaum Muslim, Ulama Salaf, semua Fuqaha, ahli hadits dan ahli ilmu tauhid , adalah bahwa Nabi saw diisra’kan dengan jasad dan ruhnya. Semua nash menunjukkan hal ini, dan tidak boleh ditakwolkan dari arti zhahirnya, kecuali dengan dalil.
           
            Ibnu Hajar di dalam Syarahnya terhadap Bukhari berkata ,“ Sesungguhnya Isra’ dan Mi’raj terjadi pada satu malam, dalam keadaan sadar, dengan jasad dan ruhnya. Pendapat inilah yang diikuti oleh Jumhur Ualama, ahli hadits , ahli fiqih, dan ilmu kalam. Semua arti zhahir dari hadits-hadits shahih menunjukkan pengertian tersebut, dan tidak boleh dipalingkan kepada pengertian lain, karena tidak ada sesuatu yang mengusik akal untuk menakwilkannya. „

            Di antara dalil yang secara tegas menunjukkan bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan jasad dan ruh, ialah sikap kaum Quraisy yang menentang keras kebenaran peristiwa ini.Seandainya peristiwa ini hanya melalui mimpi , kemudian Rasulullah saw menyatakannya demikian kepada mereka, niscaya tidak akan mengundang keberanian dan pengingkaran sedemikian rupa. Sebab penglhatan dalam mimpi itu tidak ada batasnya. Bahkan mimpi seperti itu , pada waktu itu bisa saja dialami oelh orang Muslim dan kafir. Seandainya peristiwa ini hanya dilakukan dengan ruh saja, niscaya mereka tidak akan bertanya tentang gambaran baitul-Maqdis untuk memastikan dan menentanngnya.

            Mengenai bagaimana mu’jizat ini berlangsung , dan bagaimana akal dapat menggambarkannya, maka sesungguhnya mu’jizat ini tidak jauh berbeda dari mu’jizat alam semesta dan kehidupan ini. Telah kamis ebutkan , bahwa setiap fenomena-fenomena alam semesta ini dengan mudah dapat digambarkan dan diterima akal manusia, mengapa mu’jizat ini tidak dapat diterima pula dengan mudah ?

Keenam, Ketika membahas kisah Isra’ dan Mi’raj ini, hati-hatilah dan jauhkanlah diri anda dari apa yang disebut dengan „Mi’raj Ibnu Abbas“. Buku ini berisi kumpulan cerita palsu yang tidak memiliki sandaran kebenaran sama sekali. Penulisnya telah berdusta besar atas nama Ibnu Abbas. Setiap orang yang terpelajar dan berakal sehat pasti mengetahui bahwa Ibnu Abbas r.a. bebsa dari segala kedustaan yang ada di dalam buku tersebut. 

Sabtu, 22 September 2012

YANG MEMBATALKAN SYAHADAT


Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat seseorang berarti telah mempersaksikan diri sebagai hamba Allah semata. Kalimat Lailaaha illallahu dan Muhammadur rasulullah selalu membekas dalam jiwanya dan menggerakkan anggota tubuhnya agar tidak menyembah selain Allah. Baginya hanya Allah sebagai Tuhan yang harus ditaati, diikuti ajaranNya, dipatuhi perintahnya, dan dijauhi laranganNya. Caranya bagaimana, lihatlah pribadi Rasulullah saw. sebab dialah contoh hamba Allah sejati.
Dalam pembukaan surat Al-Israa’, Allah telah mendeklarasikan bahwa Rasulullah saw. adalah hambaNya.
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS. Al Israa' (17): 1]
Begitu juga dalam pembukaan surat Al-Kahfi, Allah menegaskan bahwa Rasulullah adalah hambaNya yang mendapat bimbingan Al-Qur’an.
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya. [QS. Al-Kahfi (18): 1]
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa makna dua kalimat syahadat –yang intinya adalah tauhid—harus benar-benar tercermin dalam jiwa dan perbuatan orang yang mengikrarkannya. Dan bagi orang yang mengikrarkan syahadatain itu bentuk pengakuan dirinya sebagai hamba Allah. Sebagai hamba Allah, orang yang berikrar tadi tidak ada pilihan kecuali mencontoh pribadi Rasulullah saw. dalam segala sisi kehidupannya, baik dari sisi akidah dan ibadah, maupun sisi-sisi lainnya seperti sikapnya terhadap istri dan pelayannya di rumah, pergaulannya bersama-sahabatnya, akhlaknya dalam melakukan tansaksi bisnis dan kepemimpinannya sebagai kepala Negara. Kenapa? Karena Rasulullah adalah seorang hamba Allah sejati yang memang dibentuk sebagai figur ideal yang wajib dicontoh akhlaknya.
Untuk menjaga kemurnian tauhid, seperti yang dicontohkan Rasulullah saw., seorang hamba hendaknya menghindar jauh-jauh dari hal-hal yang merusak kemurnian tauhid sebagai cerminan dua kalimat syahadat tersebut. Setidaknya ada tiga hal yang bisa membatalkan syahadatnya, yaitu asy-syirku (menyekutukan Allah), al-ilhaadu (menyimpang dari kebenaran), dan an-nifaaku (berwajah dua, menampakkan diri sebagai muslim, sementara hatinya kafir).
Syirik (menyekutukan Allah)
Definisi syirik adalah lawan kata dari tauhid, yaitu sikap menyekutukan Allah secara dzat, sifat, perbuatan, dan ibadah. Adapun syirik secara dzat adalah dengan meyakini bahwa dzat Allah seperti dzat makhlukNya. Akidah ini dianut oleh kelompok mujassimah. Syirik secara sifat artinya seseorang meyakini bahwa sifat-sifat makhluk sama dengan sifat-sifat Allah. Dengan kata lain, mahluk mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Tidak ada bedanya sama sekali.
Sedangkan syirik secara perbuatan artinya seseorang meyakini bahwa makhluk mengatur alam semesta dan rezeki manusia seperti yang telah diperbuat Allah selama ini. Sedangkan syirik secara ibadah artinya seseorang menyembah selain Allah dan mengagungkannya seperti mengagungkan Allah serta mencintainya seperti mencintai Allah. Syrik-syirik dalam pengertian tersebut, secara eksplisit maupun implisit, telah ditolak oleh Islam. Karenanya, seorang muslim harus benar-benar berhat-hati dan menghindar jauh-jauh dari syirik-syirik seperti yang telah diterangkan di atas.
Contoh bentuk-bentuk syirik ada banyak. Di antaranya, pertamamenyembah patung atau berhala (al-ashnaam). Allah swt. menyebutnya dalam ayat berikut ini.
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. [QS. Al Hajj (22): 30]
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai Bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” [QS. Maryam (19): 42]
Menyembah matahari adalah bentuk syirik yang kedua. Allah menolak orang-orang yang menyebah matahari, bulan, dan atau bintang.
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. [QS. Al A'raaf (7): 54]
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. [QS. Fushshilat (41): 37]
Bentuk syirik yang ketiga adalah menyembah malaikat dan jin.
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan) bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. [QS. Al An'aam (6): 100]
“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat, “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab, “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.”. [QS. Saba' (34): 40-41]
Bentuk syirik keempat adalah menyembah para nabi, seperti Nabi Isa a.s. yang disembah kaum Nasrani dan Uzair yang disembah kaum Yahudi. Keduanya sama-sama dianggap anak Allah.
Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putera Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al masih itu putera Allah.” Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah (9): 30]
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam.” Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. [QS. Al-Maidah (5): 72]
Bentuk syirik yang kelima adalah menyembah rahib atau pendeta. Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Adi bin Hatim r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai hal tersebut, seraya berkata, “Sebenarnya mereka tidak menyembah pendeta atau rahib mereka.” Rasululah saw. menjawab, “Benar, tetapi para rahib atau pendeta itu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, sementara mereka mengikutinya. Bukankah itu tindak penyembahan terhadap mereka?”
Bentuk syirik yang keenammenyembah Thaghuut. Istilah thaghuut diambil dari kata thughyaan artinya melampaui batas. Maksudnya, segala sesuatu yang disembah selain Allah. Setiap seruan para rasul intinya adalah mengajak kepada tauhid dan menjauhi thaghuut. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [QS. An-Nahl (16): 36].
Dan tauhid yang murni tidak akan bisa dicapai tanpa menghindar dari menyembah thaghuut. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghuut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Baqarah (2): 256]
Allah bangga dengan orang-orang beriman yang menjauhi thaghuut. “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku.” [QS. Az-Zumar (39): 17]
Bentuk syirik yang ketujuh adalah menyembah hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecendrungan untuk melakukan keburukan. Seseorang yang menuhankan hawa nafsu, mengutamakan keinginan nafsunya di atas cintanya kepada Allah. Dengan demikian ia telah mentaati hawa nafsunya dan menyembahnya. Allah berfirman, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” [QS. Al-Furqaan (25): 43]
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” [QS. Al-Jatsiyah (45): 23]
Macam-macam Syirik
Ada dua macam syirik, yaitu syirik besar dan syirik kecil. Masing-masing dari kedua macam ini mempunyai dua dimesi: zhahir (tampak) dan khafiy (tersembunyi).
Syirik besar (asy-syirkul akbar) adalah tindakan menyekutukan Allah dengan makhlukNya. Dikatakan syirik besar karena pelakunya tidak akan diampuni dosanya dan tidak akan masuk surga. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia; dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisaa' (4): 116]
Syirik besar ini dibagi dua dimensi: zhahir dan kafiy. Contoh syirik besat yang zhahir adalah seperti menyembah bintang, matahari, bulan, patung-patung, batu-batu, pohon-pohon besar, dan manusia (seperti menyembah Fir’un, raja-raja, Budha, Isa bin Maryam, malaikat, jin dan Setan). Sementara yang khafiy bisa dicontohkan seperti meminta kepada orang-orang yang sudah mati dengan keyakinan bahwa mereka bisa memenuhi apa yang mereka yakini, atau menjadikan seseorang sebagai pembuat hukum, menghalalkan dan mengharamkan seperti yang seharusnya menjadi hak Allah swt.
Adapun syirik kecil (asy-syirkul ashghar) adalah suatu tindakan yang mengarah kepada syirik, tetapi belum sampai ke tingkat keluar dari tauhid, hanya saja mengurangi kemurniannya. Syirik kecil juga dua dimensi: dzahir dan khafiy. Yang zhahir bisa berupa lafal (pernyataan) dan perbuatan.
Contoh yang berupa lafal adalah bersumpah dengan nama selain Allah dan mengarah ke syirik seperti “demi Nabi, demi Ka’bah, demi kakek dan nenek.” Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Man halafa bighairillahi faqad kafara wa asyraka (siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka ia kafir dan musyrik).” (HR. Turmidzi nomor 1535). Termasuk lafal yang mengarah ke syirik pernyataan, “Kalau tidak karena Allah dan si fulan niscaya ini tidak akan terjadi.” Contoh yang lain adalah memberikan nama anak dengan Abdul Ka’bah dan lain sebagainya.
Adapun contoh syirik kecil zhahir yang berupa perbuatan seperti mengalungkan jimat dengan keyakinan bahwa itu bisa menyelamatkan dari mara bahaya.
Syirik kecil yang khafiy biasanya berupa niat atau keinginan, seperti riya’ dan sum’ah. Yaitu melakukan tindak ketaatan kepada Allah dengan niat ingin dipuji orang. Seperti menegakkan shalat dengan tampak khusyu’ karena sedang di samping calon mertua. Seseorang berbuat seperti itu dengan harapan supaya dipuji sebagai orang shalih. Padahal di saat sendirian, shalatnya tidak demikian. Riya’ adalah termasuk dosa hati yang sangat berbahaya. Karena itu, Islam sangat memperhatikan sebab perbuatan hati adalah faktor yang menentukan bagi baik tidaknya perbuatan zhahir.
Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Baqarah (2): 264]
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Man samma’a sammallahu bihiiwaman yaraa’ii yaraaillahu bihii (siapa yang menampakkan amalnya dengan maksud riya’ Allah akan menyingkapnya di hari Kiamat, dan siapa yang menunjukkan amal shalihnya dengan maksud ingin dipuji orang, Allah mengeluarkan rahasia tersebut di hari Kiamat).” (HR. Bukhari 11/288 dan Muslim nomor 2987)
Bahaya-bahaya Syirik
Perbuatan syirik sangat berbahaya. Berikut ini beberapa bahaya yang akan menimpa orang-orang pelaku syirik.
Pertama, syirik adalah kezhaliman yang nyata. Allah berfirman, “Innasy syirka ladzlumun adziim (sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar).” [QS. Luqman (31): 13]. Mengapa disebut kezhaliman yang besar? Sebab dengan berbuat syirik seseorang telah menjadikan dirinya sebagai hamba makhluk yang sama dengan dirinya yang tidak berdaya apa-apa.
Kedua, syirik merupakan sumber khurafat. Sebab, orang-orang yang meyakini bahwa selain Allah –seperti bintang, matahari, kayu besar dan lain sebagainya– bisa memberikan manfaat atau bahaya, berarti ia telah siap melakukan segala khurafat dengan mendatangi para dukun, kuburan-kuburan angker, dan mengalungkan jimat di lehernya.
Ketiga, syirik adalah sumber ketakutan dan kesengsaraan. Allah berfirman, “Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zhalim.” [QS. Ali Imran (3): 151]
Keempat, syirik merendahkan derajat kemanusiaan si pelakunya. Allah berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [QS. Al-Hajj (22): 31]
Kelima, syirik menghancurkan kecerdasan manusia. Allah berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).” [QS. Yunus (10): 18]
Keenam, di akhirat nanti orang-orang musyrik tidak akan mendapatkan ampunan Allah dan akan masuk neraka selama-lamanya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisaa' (4): 116]
Allah juga berfirman, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” [QS. Al-Maidah (5): 72]
Sebab-sebab Syirik
Ada tiga sebab fundamental munculnya prilaku syirik, yaitu al-jahlu (kebodohan), dha’ful iiman (lemahnya iman), dan taqliid (ikut-ikutan secara membabi-buta).
Al-jahlu sebab pertama perbuatan syirik. Karenanya masyarakat sebelum datangnya Islam disebut dengan masyarakat jahiliyah. Sebab, mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh dengan kebodohan itu, orang-orang cendrung berbuat syirik. Karenanya semakin jahiliyah suatu kaum, bisa dipastikan kecendrungan berbuat syirik semakin kuat. Dan biasanya di tengah masyarakat jahiliyah para dukun selalu menjadi rujukan utama. Mengapa? Sebab mereka bodoh, dan dengan kobodohannya mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ujung-ujungnya para dukun sebagai narasumber yang sangat mereka agungkan.
Penyebab kedua perbuatan syirik adalah dha’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang yang imannya lemah cendrung berbuat maksiat. Sebab, rasa takut kepada Allah tidak kuat. Lemahnya rasa takut kepada Allah ini akan dimanfaatkan oleh hawa nafsu untuk menguasai diri seseorang. Ketika seseorang dibimbing oleh hawa nafsunya, maka tidak mustahil ia akan jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik seperti memohon kepada pohonan besar karena ingin segera kaya, datang ke kuburan para wali untuk minta pertolongan agar ia dipilih jadi presiden, atau selalu merujuk kepada para dukun untuk suapaya penampilannya tetap memikat hati orang banyak.
Taqliid sebab yang ketiga. Al-Qur’an selalu menggambarkan bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah selalu memberi alasan mereka melakukan itu karena mengikuti jejak nenek moyang mereka. Allah berfirman, “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [QS. Al-A'raf (7): 28]
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [QS. Al-Baqarah (2): 170]
Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [QS. Al-Maidah (5): 104]
Al-Ilhaadu (Menyimpang Dari Kebenaran)
Istilah Al-Ilhaadu digunakan Al-Qur’an di banyak tempat. Kadang berbentuk kata yulhiduun seperti di surat Al-A’raf (7): 180, An-Nahl (16): 103, dan Fushshilat (41): 40.
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [QS. Al-A'raf (7): 180]
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa `ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. [QS. An-Nahl (16): 103]
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي ءَايَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا أَفَمَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ خَيْرٌ أَمْ مَنْ يَأْتِي ءَامِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidaktersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [QS. Fushshilat (41): 40]
Kadang munucul dalam berbentuk kata ilhaad seperti dalam surat Al-Hajj (22): 25 ini.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِي جَعَلْنَاهُ لِلنَّاسِ سَوَاءً الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.”
Dan kadang berbentuk kata multahadaa seperti di surat Al-Kahfi (18): 27 dan Al-Jin (72): 22.
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا
“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhan-mu (Al-Qur’an). Tidak ada (seorangpun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya.” [QS. Al-Kahfi (18): 27]
قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا
Katakanlah, “Sesungguhnya sekali-kali tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya.” [QS. Al-Jin (72): 22.
Arti al-ilhaad menurut para ulama
Al-Farra' mengatakan bahwa kata yulhiduun atau yalhaduun artinya condong kepadanya. Imam Al-Harrani dari Ibn Sikkit mengatakan, al-mulhid artinya orang yang menyimpang dari kebenaran, dan memasukkan sesuatu yang lain kepadanya.
Dalam Lisanul Arab dikatakan, al-ilhaad artinya menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Meragukan Allah juga termasuk ilhaad. Dikatakan juga bahwa setiap tindak kedzaliman dalam bahasa Arab disebut ilhaad. Karenanya, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa monopoli makanan di Tanah Haram itu termasul ilhad. Ketika dikatakan laa tulhid fil hayaati itu artinya jangan kau menyimpang dari kebenaran selama hidupmu.
Imam Ashfahani dalam bukunya Mufradaat Alfazhil Qur'an mengatakan bahwa kata al-ilhaad artinya menyimpang dari kebenaran. Dalam hal ini –kata Al Ashfahani-- ada dua makna: pertama, ilhad yang identik dengan syirik, bila ini dilakukan maka otomatis seseorang menjadi kafir. Kedua, ilhad yang mendekati syirik, ini tidak membuat seseorang menjadi kafir, tetapi setidaknya telah mengurangi kemurnian tauhidnya. Termasuk sikap ini apa yang diganbarkan dalam firman Allah berikut ini.
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
"Siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih." [QS. Al-Hajj (22): 25]
Dalam menafsirkan ayat وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ (dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya), Imam Al-Ashfahani menyebutkan bahwa ada dua macam dalam ilhaad kepada nama-nama Allah: pertama, mensifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak pantas disebut sebagai sifat Allah, dan kedua, menafsirkan nama-nama Allah dengan makna yang tidak sesuai dengan keagunganNya (lihat Mufradat Alfaazhul Qur’an halaman 737).
Hakikat Ilhad
Berdasarkan keterangan di atas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun definisi yang disampaikan para ulama, tampak bahwa istilah ilhad digunakan untuk segala tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Jadi, setiap penyimpangan dari kebenaran disebut ilhad. Tetapi secara definitif istilah ini khusus digunakan untuk sikap yang menafikan sifat-sifat, nama-nama, dan perbuatan Allah. Dengan kata lain, para mulhidun adalah mereka yang tidak percaya adanya sifat-sifat, nama-nama, dan perbuatan Allah.
Berbeda dengan kafir yang di dalamnya bisa berupa pengingkaran kepada Allah, menyekutukannya, dan pengingkaran terhadap nikmat-nikmatNya, ilhad lebih kepada pengingkaran sifat-sifat, nama-nama, dan perbuatan Allah saja. Dari sini tampak bahwa tidak setiap kafir itu ilhad. Karenanya –seperti dikatakan dalam buku Al-Furuuq Al-Lughawiyah– orang-orang Yahudi dan Nasrani sekalipun mereka tergolong kafir, tetapi mereka tidak termasuk mulhiduun. Tetapi setiap tindakan ilhad itu termasuk kafir.
Bahaya-bahaya ilhaad
Pertama, bahwa para ulama sepakat bahwa tauhid mempunyai tiga dimensi, yaitu tauhid uluhiyahtauhid rububiyah, dan tauhid asma’ wa sifat. Karena ilhad adalah tindakan menafikan sifa-sifat, nama-nama, dan perbuatan Allah, maka dengan melakukan ilhad seseorang telah menghapus satu dimensi dari dimensi tauhid yang sudah baku. Para ulama sepakat bahwa mengingkari salah satu dari dimensi-dimensi tauhid adalah kafir. Karena itu orang-orang mulhid tergolong orang kafir.
Kedua, bahwa dengan menafikan sifat-sfat dan nama-nama Allah berarti seseorang telah mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan adanya nama-nama dan sifat-sifat Allah. Para ulama sepakat bahwa mengingkari satu ayat dari ayat-ayat Al-Qur’an adalah kafir.
Ketiga, bahwa mengingkari perbuatan Allah berarti mengingkari segala wujud di alam ini sebagai ciptaanNya. Bila ini yang diyakini berarti telah mengingkari kekuasaan Allah sebagai Pencipta. Mengingkari kekuasaan Allah adalah kafir.
An-Nifaaqu (Wajahnya Islam, Hatinya Kafir)
Imam Al-Ashfahani menerangkan bahwa an-nifaaq diambil dari kata an-nafaq artinya jalan tembus. Dalam Al-Qur’an dikatakan:
وَإِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكَ إِعْرَاضُهُمْ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَبْتَغِيَ نَفَقًا فِي الْأَرْضِ أَوْ سُلَّمًا فِي السَّمَاءِ فَتَأْتِيَهُمْ بِآيَةٍ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mu`jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” [QS. Al-An'aam (6): 35]
Orang Arab berkata, naafaqal yarbu ‘binatang yarbu’ telah melakukan nifak, karena ia masuk ke satu lubang lalu keluar dari lubang yang lain. Dalam pengertian ini kata an-nifaaq digunakan. Sebab orang-orang munafik ketika bertemu dengan orang-orang Islam, mereka suka menampakkan dirinya sebagai seorang muslim. Sementara ketika bertemu dengan kawan-kawan mereka sesama kafir, mereka kembali lagi ke wajah mereka yang asli sebagai orang-orang kafir. Karenanya Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” [QS. At-Taubah (9): 67]
Ciri-ciri orang munafik
Di pembukaan surat Al-Baqarah, setelah menceritakan ciri-ciri orang-orang beriman dan ciri-ciri orang-orang kafir, Allah lalu menceritakan ciri-ciri orang-orang munafik secara panjang lebar. Ringkasnya sebagai berikut: (a) di mulut mereka mengatakan beriman kepada Allah dan hari Kiamat, sementara hati mereka kafir [lihat QS. Al-Baqarah (2): 8-10]. (b) Ketika dikatakan kepada mereka agar jangan berbuat kerusakan, mereka mengaku berbuat baik [lihat QS. Al-Baqarah (2): 11-12]. (c) Ketika bertemu dengan orang-orang beriman, mereka menampakan keimanan. Tetapi ketika kembali ke kawan-kawan mereka sesama setan, mereka kembali kafir. (d) Ibarat orang berbisnis, mereka sedang membeli kekafiran dengan keimanan. Sebab setiap saat wajah mereka berganti-ganti tergantung dengan siapa mereka pada saat itu sedang bersama. (e) Ibarat pejalan dalam kegelapan, setiap kali mereka menyalakan obor, seketika obor itu padam kembali. (d) Ibarat orang-orang yang ketakutan mendengarkan petir saat hujan turun, mereka selalu menutup telinga karena takut kebenaran yang disampaikan Rasulullah saw. masuk ke hati mereka.
Demikianlah hal-hal yang merusak kemurnian tauhid (baca: menghancurkan makna dua kalimat syahadat), yang secara singkat setidaknya ada tiga: asy-syrikual-ilhaadu, dan an-nifaqu. Masing-masing dari komponen tersebut mempunyai tujuan sendiri, hanya saja syirik lebih mengarah kepada sikap menyekutukan Allah, sementara ilhad lebih mengarah kepada sikap menafikan sifat, asma, dan perbuatan Allah. Adapun nifaq lebih mengarah kepada penampilan dengan wajah dua. Tetapi ujung-ujungnya sama: kekafiran.

SYARAT-SYARAT DITERIMANYA SYAHADAT


Sulaiman duduk termenung menatap ke kejauhan dengan sorot mata kosong. Ia seperti itu selama beberapa waktu ini. Sahabat dekatnya –Adi- tidak tahan untuk tidak bertanya, mengapa Sulaiman semurung itu. Akhirnya, Adi tahu jawabannya. Sulaiman baru ditolak lamarannya pada sang ukhti pujaan.

Betapa tidak murung, Sulaiman tadinya yakin bakal langsung diterima karena ia merasa tidak memiliki kekurangan yang berarti; sarjana, berkecukupan, tampang boleh. Akan tetapi, itu menururt dirinya. Namun si ukhti yang dilamar ternyata memiliki syarat yang tidak bisa dipenuhi, hingga ditolaklah lamaran itu.

Si Ujang lain lagi. Ia sudah lama menginginkan sebuah barang. Kini barang itu ada dan tempatnya pun diketahui. Ia datang untuk membelinya. Ia menawar dengan segenap kemampuannya. Ternyata sang penjual menolaknya, karena tidak ada kesepakatan harga.

Berdasarkan gambaran dua cerita di atas, dapatlah dipahami bahwa pada proses lamar-melamar dan jual beli itu tidak serta merta melahirkan sebuah penerimaan dan kerelaan. Seorang gadis yang dilamar butuh syarat tertentu, agar lamaran diterima. Sang penjual pun butuh harga tertentu, agar penawaran diterima. Demikian pula dengan ikrar kalimat syahadat. Ia memiliki sejumlah syarat, agar bisa diterima di sisi Allah SWT.

Syahadat tidak berhenti pada pernyataan seorang Muslim dengan mengucapkannya, lalu pasti diterima selamanya. Syahadat pun tidak hanya pengakuan dan pernyataan dari seorang hamba, lalu bereslah semua dan Allah pasti ridha menerimannya.

Apabila kalimat syahadat itu berhenti pada pengakuan, hal itu sama sekali belum membedakan antara orang beriman dengan yang tidak beriman. Iblis mempercayai dan mengetahui adanya Allah, akan tetapi ia tidak beriman.org-orang musyrik di zaman kenabian mempercayai Allah, akan tetapi mereka bukanlah orang beriman. Perhatikan ayat-ayat Allah berikut ini!

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ [يونس/31]
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" (QS. Yunus : 31)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [لقمان/25]
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Luqman : 25)

Demikian pula pengakuan tulus mereka mengenai kekuasaan Allah SWT.

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) [المؤمنون/84-87]
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" (QS. Al-Mukminun : 84-87)

Keseluruhannya menunjukkan bahwa iman bukan sekadar ucapan atau ikrar di lisan. Jika ikrar saja telah menunjukkan keimanan, maka tentulah mereka tidak dikecam Al-Qur'an. Tidak setiap ikrar persaksian diterima dan menunjukkan keabsahannya. Akan tetapi, sebelum persaksian, diperlukan sejumlah persyaratan agar ikrar syahadat menjadi diterima di sisi Allah SWT.

Ketika ada orang bertanya kpd Wahhab bin Munabbih, "Bukankah laa ilaaha illallah adalah kunci surga?" Ia menjawab, "Benar, namun tidak ada satu kunci pun kecuali mempunyai gigi-gigi. Jika engkau menggunakan kunci yang bergigi, pintu akan terbuka. Jika tidak, pintu tidak akan terbuka." Gigi-gigi itulah yang menjadi syarat diterimanya syahadat dlm pembahasan kali ini.

Asy-Syaikh Muhammad Said Al-Qathani menyebutkan tujuh syarat diterimanya persaksian syahadat.

Mengetahui (Al-'Ilm)

Syarat pertama diterimanya ikrar syahadat adalah mengetahui makna yang dimaksud dan yang terkandung di dlm kalimat syahadat tersebut. Pengetahuan ini menyangkut beberapa hal, misalnya makna kata "asyhadu", pengertian "ilah", juga pemahaman tentang nafy wa itsbat (penolakan dan pengukuhan) yang tertuang dalam huruf la dan ila. Berikut urgensi dan kandungan umum maknanya. Berbagai pengetahuan tentang ini sangat penting untuk memahami kedalaman makna syahadat itu.

Manusia memiliki akal pikiran, sehingga mampu mempertimbangkan semua yang dilakukan dan diamalkan. Manusia yang berakal pikiran sehat tidak pernah berbuat sesuatu, kecuali telah diketahui apa yang hendak dilakukannya itu. Oleh karena itu, seseorang harus mengetahui sesuatu sebelum mengikuti atau melaksanakannya.

Allah SWT berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا [الإسراء/36]
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra' : 36)

Demikian juga kandungan syahadat, yang memuat prinsip sangat fundamental, yakni persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Ia harus diikrarkan dengan pemahaman.

Allah SWT berfriman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ [محمد/19]
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.(QS. Muhammad : 19)

Pada ayat di atas, Allah telah mendahulukan perintah untuk memiliki pengetahuan akan sesuatu (maka ketahuilah) sebelum memerintahkan untuk beramal (mohonlah ampunan bg dosamu). Setiap orang yang bersyahadat harus mengetahui dengan benar tentang apa yang diucapkannya. Ketidaktahuan atau kebodohan dalam memahami kandungan kalimat syahdat menyebabkan ucapan seseorang tak ubahnya seperti mesin atau burung beo yang pandai mengucapkan kata-kata tanpa mengetahui maknanya.

Secara umum, dan dalam hal apa saja, pengetahuan memang harus didahulukan atas amalan. Mengapa?
1. Ilmu adalah pembangkit iman dan ketundukan. Allah SWT berfirman,
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ [الحج/54]
dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya… (QS. Al-Hajj : 54)

2. Ilmu menghindatkan kerancuan
Karena tidak berilmu, banyak orang merasa telah berbuat kebajikan, namun sebenarnya perbuatannya termasuk kesesatan.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (104) [الكهف/103، 104]
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi : 103-104)

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, "Pekerja yang tanpa ilmu lbh banyak merusak daripada memperbaiki."

3. Ilmu adalah pemimpin amal
Ilmu berada di barisan depan. Ia mengarahkan, membimbing, dan memberikan koreksi bagi pelakunya.

Muadz bin Jabal pernah berkata, "Ilmu adalah imamnya amal dan amal menjadi pengikutnya."

Imam Hasan Al-Basri berkata, "Pelaku amal yang melakukannya tanpa ilmu, ibarat orang berjalan tidak pada jalannya. Pekerja tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Oleh karenanya, carilah ilmu sebanyak-banyaknya, namun jangan sampai berbahaya bagi ibadah dan carilah ibadah sebanyak-banyaknya, namun jangan sampai berbahaya bagi ilmu. Ada segolongan kaum yang begitu gigih beribadah, namun meninggalkan ilmu hingga keluar dari rumahnya membawa pedang untuk memerangi umat Muhammad SAW. Seandainya saja mereka mencari ilmu, niscaya ilmu itu tidak mengarahkan pada apa yang mereka perbuat." (Ibnu Qayyim dalam Miftah Daar As-Sa'adah)

Keyakinan


Setiap orang yang berikrar harus meyakini kandungan kalimat syahadat dengan keyakinan yang kuat. Dengan keyakinan seseorang akan terhindar dari keraguan dan dengan keyakinan pula ia akan melangkah dengan kepastian.

Dalam kehidupan keseharian, jika seseorang berkata "Saya bersaksi bahwa si A adalah orang yang baik dan tidak berdusta." Kemudian seseorang bertanya, "Apakah Anda yakin tentang kesaksian Anda?" jawaban orang tersebut akan sangat menentukan penerimaan kesaksiannya.

Jika ia mengatakan, "Ya, saya sangat yakin dengan persaksian saya tersebut," maka orang lain punya peluang untuk menerima persaksiannya. Akan tetapi, jika yang terjadi adalah sebaliknya, "Tidak, sesungguhnya saya tidak begitu yakin dengan apa yang saya persaksikan," maka bagaimana orang lain akan bisa menerima persaksiannya?

Demikian pula dalam persaksian kalimat syahadat. Setiap orang yang mengikrarkan kalimat ini harus meyakini dengan sepenuh hati, tanpa ada keraguan di dalamnya. Allah SWT telah berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ [الحجرات/15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujurat : 15)

Imam Al-Qurthubi dalam kitab Al-Mufhim 'ala Shahih Al-Muslim menjelaskan, "Tidak cukup dengan melafalkan syahadatain, akan tetapi harus dengan keyakinan hati."

Mungkin persoalannya adalah bagaimana menumbuhkan keyakinan itu, atas sesuatu yang gaib. Persaksian atas ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad adalah masalah gaib, namun kita dituntut untuk yakin hingga bahkan harus bersumpah dan bersaksi.

Keyakinan dapat dihasilkan melalui pendekatan logika. Beberapa kaidah logika akan membantu Anda mengimani Allah SWT, Dzat Yang gaib.

Pertama
, ketiadaan tidak bisa menciptakan wujud.
Orang awam tentu heran ketika melihat daging buku tahu-tahu ada belatungnya. Adakah ia muncul secara sekonyong-konyong? Namun dunia ilmu telah menjawabnya, bahwa ia datang sbg larva lalat. Ketika daging itu busuk, maka lalat pun berdatangan dan ia bertelur di daging busuk itu. Lahirlah larva lalat itu. Demikianlah, tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang terjadi secara sekonyong-konyong, dari ketiadaan.

Kedua, berpikir tentang ciptaan dapat mengantarkan kita kepada sifat penciptanya.
Ketika mengamati kursi kayu yang bagus dan kuat, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa pembuat kursi pasti seseorang yang bisa mengukur dengan cermat, memiliki kayu, memiliki alat pengukur, memiliki alat potong, sekaligus memiliki alat penghalus. Alam yang terbentang luas pasti akan mengantarkan Anda pada pengetahuan tentang karakter Pencipta yang Mahasempurna.

Ketiga, orang yang tidak memiliki sesuatu tidak akan dapat memberi sesuatu.
Bagaimana mungkin alam tercipta dengan fenomena keindahan, keunikan, dan kecermatan yang demikian sempurna, kalau bukan diciptakan oleh Dzat Yang Mahasempurna pula? Itulah Allah SWT.

Pendekatan logika ini hanyalah alat bantu untuk mendekatkan dan mengukuhkan keimanan kita kepada Allah SWT. Selebihnya, ayat-ayat Al-Qur'an tentu sangat banyak menceritakan hakikat ini. Dengan itulah, keyakinan akan semakin tumbuh kukuh dalam benak setiap kita. Bersambung ke Syarat Diterimanya Syahadat (2). 


Penerimaan (Al-Qabuul)

Syahadat bukan kata-kata biasa. Ia adalah pernyataan, sumpah, sekaligus janji. Dengan demikian, jika kalimat syahadat itu tidak dibarengi dengan penerimaan secara total atas semua kandungannya, maka ia tidak bisa lagi disebut syahadat yang benar.

Setiap orang yang mengikrarkan syahadat harus menerima konsekuensi kalimat tersebut dengan hati dan lisannya. Seorang yang berikrar syahadat dengan lisannya akan tetapi hatinya menolak kebenaran disebut sbg munafiq I'tiqady. Seperti Abdullah bin Ubai bin Salul, ia berikrar syahadat tetapi hatinya menolak. Ialah contoh munafiq I'tiqady, kendatipun telah berikrar syahadat, namun tak ada indikasi penerimaan konsekuensi syahadat tersebut dalam dirinya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ [الأنفال/24]
Wahai orang-orang yang beirman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila dia menyeru kepada agama yang menghidupkanmu… (QS. An-Anfal : 24)

Ikrar syahadat baru diterima di sisi Allah apabila disertai penerimaan yang total atas konsekuensi yang menyertainya. Penolakan akan makna dan kandungan syahadat akan berdampak merusak persaksian yang telah diikrarkan.

Allah SWT mengecam kaum yang menolak kalimat tauhid.

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ (36) [الصافات/35، 36]
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka "Laa ilaaha illallah" mereka menyombongkan diri. Mereka mengatakan, "Apakah kami harus meninggalkan tuhan-tuhan sesembahan kami hanya untuk mengikuti seorang penyair gila?" (QS. Ash-Shafat : 35-36)

Ketundukan (Al-Inqiyad)

Ikrar syahadat harus diikuti dengan sikap tunduk terhadap kandungan maknanya dan tidak mengabaikan maksud kalimat syahadat tersebut. Sikap membangkang dan tidak mau tunduk thd ketentuan Allah dan rasul-Nya menjadikan ikrar tersebut tidak bermakna. Sesungguhnya makna Islam itu sendiri ketundukan, di mana seseorang yang masuk Islam diharapkan memiliki sikap tunduk dan patuh terhadap segala aturan yang ada di dalamnya.

Allah SWT berfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ [النساء/125]

Siapakah yang lebih baik agamanya dibanding orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah dan dia adalah orang yang mengerjakan kebajikan… (QS. An-Nisa' : 125)

Nabi SAW bersabda,
لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به
Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian, sehingga hawa nafsunya tunduk kepada ajaran yang aku bawa (HR. Imam Nawawi)

Dalam ayat yang lain, Allah menegaskan konsekuensi keimanan, yang berupa ketundukan sikap tanpa keberatan.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء/65]
Maka demi Tuhanmu, pada hakikatnya mereka itu tidak beriman sebelum menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak mendapati sesuatu keberatanpun di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, lalu mereka menerima sepenuhnya. (QS. An-Nisa' : 65)

Ibnu Katsir memberikan penjelasan mengenai ayat ini, "Allah bersumpah dengan diri-Nya Yang Mulia lagi Suci, bahwa Rasul SAW sebagai hakim dalam segala persoalan. Apa saja yang diputuskan oleh Nabi SAW adalah kebenaran yang wajib dipatuhi secara lahir dan batin. Oleh karena itu, Allah mengatakan,… Kemudian mereka tidak mendapati sesuatu keberatanpun di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, lalu mereka menerima sepenuhnya.

"Artinya, jika mereka bertahkim kepadamu, mereka menaati dalam jiwa mereka lalu tidak mendapati rasa keberatan sedikitpun dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan. Mereka mematuhi hukum itu secara lahir dan batin, sehingga mereka tunduk dan pasrah sepenuhnya tanpa perlawanan, proteksi, apologi, maupun penentangan," demikian penjelasan Ibnu Katsir.

Kejujuran (Ash-Shidq)

Setiap orang yang berikrar syahadat harus melakukannya secara jujur, tidak berpura-pura, atau berdusta. Seyogyanya ucapan lisan sejalan dengan pikiran, sekaligus dengan hatinya. Itulah kejujuran sikap. Yakni mengucapkan persaksian secara bersungguh-sungguh tanpa kepalsuan dan kepura-puraan. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui setiap hamba yang benar dan jujur dalam keimanan maupun hamba yang melakukan kedustaan.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) [البقرة/8، 9]
Dan diantara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir," padahal mereka itu sebenarnya bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal pada hakikatnya mereka hanya menipu diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak sadar. (QS. Al-Baqarah : 8-9)

Rasulullah SAW bersabda,
ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على النار
Tak seorangpun yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkannya disentuh api neraka. (HR. Bukhari)

Ibnu Rajab mengatakan, "Adapun orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan lidahnya, kemudian ia menaati setan, cenderung bermaksiat, dan menentang Allah sebenarnya perbuatannya itu telah mendustakan perkataannya. Kesempurnaan tauhidnya terkurangi sesuai dengan kadar kemaksiatannya kepada Allah itu dalam menuruti setan dan hawa nafsu."

Kejujuran bukanlah masalah sederhana. Ia perlu diperjuangkan keberadaannya dalam jiwa. Karena nilainya yang demikian tinggi para ulama mengatakan bahwa shidiq adalah salah satu dari induk akhlak.

Rasulullah SAW pun bersabda,
إن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وإن الرجل ليصدق حتى يكون صديقا وإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وإن الرجل ليكذب حتى يكتب عند الله كذابا
Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebajikan dan kebajikan mengantarkan kepada surga. Seseorang berbuat jujur hingga menjadi ahli berbuat jujur. Dan sesungguhnya kedustaan mengantarkan kepada kedurhakaan dan kedurhakaan mengantarkan ke neraka. Seseorang berbuat dusta hingga ditetapkan sebagai pendusta. (HR. Bukhari)

Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ [التوبة/119]
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang jujur. (QS. At-taubah : 119)

Ikhlas (Al-Ikhlash)

Amal yang ikhlas adalah manakala amal yang dikerjakan hanya dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT, tidak untuk mendapatkan ridha siapapun diantara makhluk-Nya. Lawan kata dari ikhlas adalah riya, yaitu beramal dengan tujuan selain Allah. Penyakit riya ibarat virus, jika tidak segera diberantas akan melahirkan penyakit syirik, yaitu menjadikan selain Allah sama kedudukannya dengan Allah SWT.

Amal yang ikhlas dapat menenteramkan hati, sekaligus menjadikan amal ibadah kita diterima Allah SWT. Selain itu, keikhlasan dapat menciptakan semangat untuk berjuang dan menanggung semua resiko dari perjuangan yang dilakukan.

Demikian juga, ikrar syahadat harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dan hanya mengharap ridha Allah SWT, bukan karena pengaruh duniawi apa pun dan bukan pula karena pamrih. Dengan itulah, seseorang dapat menjauhkan diri dari segala bentuk kemusyrikan.

Allah SWT berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ [البينة/5]
Mereka itu tidaklah diperintah kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama secara lurus…(QS. Al-Bayyinah : 5)

Selain itu, keikhlasan harus senantiasa didampingkan dengan kebenaran. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Sesungguhnya amal perbuatan jika sudah ikhlas namun tidak benar, tidak akan diterima. Jika benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima, sebelum menjadi amal yang ikhlas dan benar. Ikhlas jika hanya karena Allah, sedangkan benar jika mengikuti Sunah Rasulullah SAW."

Jagalah hati kita untuk senantiasa ikhlas, karena itulah kunci pengabulan amalan dan doa-doa kita. Syirik merupakan penghancur amal, sehingga wajib dijauhi agar tidak merusak persaksian syahadat yang telah diikrarkan.

Cinta (Al-Hub)

Syahadat menuntut konsekuensi dan resiko. Pada umumnya, konsekuensi dan resiko memang berat dan tidak ada yang dapat menanggungnya secara lapang dada selain mereka yang hatinya dipenuhi oleh cinta. Cinta hanya akan lahir dari keridhaan, dan ridha itulah yang menjadikan syahadat diucapkan dengan kesungguhan dan kesadaran hati.

Setiap orang yang bersyahadat harus mencintai kalimatnya, mencintai segala yang menjadi konsekuensinya, sekaligus mencintai orang-orang yang konsekuen dengannya. Orang yang telah mengikrarkan syahadat, ia harus mencintai Allah di atas segala-sagalanya dan mencintai segala sesuatu dalam rangka mencintai Allah SWT.

Allah SWT berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ [البقرة/165]
Dan diantara manusia ada orang-orang yang mengambil tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah… (QS. Al-Baqarah : 165)

Syaikh Al-Hafizh Al-Hakami mengatakan, "Indikasi kecintaan seorang hamba kepada Tuhan adalah mendahulukan cinta kepada-Nya sekalipun hawa nafsunya menentang; membenci apa yang dibenci oleh Tuhannya, sekalipun hawa nafsu cenderung kepada hal tersebut; memberikan loyalitas kepada orang-orang yang berwala' kepada Allah dan rasul-Nya; memusuhi siapa pun yang memusuhi Tuhannya; mengikuti Rasulullah SAW, meniti jalan kenabian, dan menerima petunjuk darinya."

Dalam kaitan ini Ibnu Taimiyah berkata, "Mencintai apa yang dicitai kekasih adalah bagian dari cinta kepada kekasih. Kesiapan menanggung resiko yang berat adalah bagian dari cinta kepada kekasih."

Jika ada orang yang bersyahadat tetapi membenci Allah dan Rasul-Nya, maka bukanlah orang beriman. Lebih dari itu, syahadat itu tidak akan sampai menggerakkan hati untuk tunduk dan pasrah serta siap menanggung resiko perjuangan.

Demikianlah syarat-syarat diterimanya ikrar syhadatain. Jika seorang Muslim mampu memenuhi persyaratan tersebut, maka syahadatnya benar dan akan diterima di sisi Allah SWT.

Syahadat yang benar bukan saja mendapatkan penerimaan dari Allah SWT, namun juga menimbulkan perasaan ridha pada kandungannya. Perasaan ridha menjadi titik awal dari segenap sikap berislam secara total. Dengan ridha itulah kita menerima semua beban syariat dengan tulus, dengan ridha itu kita siap memperjuangkan, dan dengan ridha itu pula kita siap menanggung resikonya. Sedangkan kandungan ridha ini adalah ridha bahwa Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi.

Rasulullah SAW bersabda,
من قال حين يمسى رضيت بالله ربًّا وبالإسلام دينًا وبمحمد نبيا كان حقا على الله أن يرضيه
Barangsiapa ketika pagi dan sore mengatakan, "Saya ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul dan Nabi," maka adalah wajib bagi Allah untuk meridhainya. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Hakim). ). [sumber: Buku Seri Materi Tarbiyah; Syahadat dan Makrifatullah]