Pages

Minggu, 11 Desember 2011

Da'wah Sirriyah

Beberapa Tahapan Dakwah Islamiyah dalam Kehidupan Rasulullah saw

Dakwah Islamiyah di masa hidup Nabi saw, sejak bi’tsah hingga wafatnya menempuh empat tahapan :

Pertama, Dakwah secara rahasia, selama tiga tahun.

Kedua, Dakwah secara terang-terangan dengan menggunakan lisan saja tanpa perang, berlangsung sampai hijrah.

Ketiga, Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi orang-orang yang menyerang dan memulai peperangan atau kejahatan. Tahapan ini berlangsung sampai tahun perdamaian Hudaibiyah.

Tahapan keempat, Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi setiap orang yang menghalangi jalannya dakwah atau menghalangi orang yang masuk Islam. Setelah masa dakwah yang pemberitahuan dari kaum musyrik, anti agama atau penyembah berhala. Pada tahapan inilah syariat Islam dan hukum jihad dalam Islam mencapai kemapanan.

Dakwah secara Rahasia

Nabi saw mulai menyambut Allah dengan mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala. Tetapi dakwah Nabi ini dilakukan secara rahasia untuk menghindari tindakkan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap kemusyrikan dan peganismenya. Nabi saw tidak menampakkan dakwah di majelis-majelis umum orang-orang Quraisy, dan tidak melakukan dakwah kecuali kepada orang yang memiliki hubungan kerabat atau kenal baik sebelumnya.

Orang-orang yang pertama kali masuk Islam ialah Khadijah binti Khuwailid r.a., Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritza mantan budak Rasulullah saw dan anak angkatnya, Abu Bakar bin Abi Qufahah, Ustman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lainnya.

Mereka ini bertemu dengan Nabi secara rahasia. Apabila salah seorang di antara mereka ingin melaksanakan salah satu ibadah, ia pergi ke lorong-lorong Mekkah seraya bersembunyi dari pandangan orang-orang Quraisy.

Ketika orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan wanita, Rasulullah saw memilih rumah salah seorang dari mereka, yaitu rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam, sebagai tempat pertemuan untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Dakwah pada tahapan ini menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan wanita telah menganut Islam. Kebanyakan mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak dan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kedudukan.

Beberapa 'Ibrah:

1. Sebab Sirriyah pada permulaan dakwah Rasulullah saw

Tidak diragukan lagi, bahwa kerahasiaan dakwah Nabi saw selama tahun-tahun pertama ini bukan karena kekhawatiran Nabi saw terhadap dirinya. Sebab, ketika beliau dibebani dakwah dan diturunkan kepadanya firman Allah: “Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berikanlah peringatan,“ beliau sadar, bahwa dirinya adalah utusan Allah kepada manusia. Karena itu beliau yakin bahwa Allah yang mengutus dan membebaninya dengan tugas dakwah ini mampu melindungi dan menjaganya dari gangguan manusia. Kalau Allah memerintahkan agar melakukan dakwah secara terang-terangan sejak hari pertama, niscaya Rasulullah saw tidak akan mengulurkan sedetikpun, sekalipun harus menghadapi resiko kematian.

Tetapi Allah memberikan ilham kepadanya, dari ilham kepada Nabi saw adalah semacam wahyu kepadanya, agar memulai dakwah pada tahapan awal dengan rahasia dan tersembunyi, dan agar tidak menyampaikan kecuali kepada orang yang telah diyakini akan menerimanya. Ini dimaksudkan sebagai pelajaran dan bimbingan bagi para da’i sesudahnya agar melakukan perencanaan secara cermat dan mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dakwah. Tetapi hal ini tidak boleh mengurangi rasa tawakal kepada Allah semata, dan tidak boleh dianggap sebagai faktor-faktor yang paling menentukan. Sebab hal ini akan merusak prinsip keimanan kepada Allah, di samping bertentangan dengan tabiat dakwah kepada Islam.

Dari sini diketahui bahwa uslub dakwah Rasulullah saw pada tahapan ini merupakan siyasah syari’ah (kebijaksanaan) darinya sebagai imam, bukan termasuk tugas-tugas tablighnya dari Allah sebagai seorang Nabi.

Berdasarkan hal itu, maka para pimpinan dakwah Islamiyah pada setiap masa boeh menggunakan keluwesan dalam cara berdakwah, dari segi Sirriyah dan Jariyah atau kelemah-lembutan dan kekuatan, sesuai dengan tuntutan keadaan dan situasi masa di mana mereka hidup. Yakni keluwesan yang ditentukan oleh syari’at Islam berdasarkan kepada realitas Nabi saw, sesuai dengan empat tahapan yang telah disebutkan, selama tetap mempertimbangkan kemashlahatan kaum Muslimin dan dakwah Islamiyah pada setiap kebijaksanaan yang diambilnya.

Oleh karena itu Jumhur Fuqaha sepakat jika jumlah kaum Muslim sedikit atau lemah posisinya, sehingga diduga keras mereka akan dibunuh oleh para musuhnya tanpa kesalahan apapun bila para musuh itu telah bersepakat akan membunuh mereka, maka dalam keadaan seperti ini harus didahulukan kemashlahatan menjaga atau menyelamatkan jiwa, karena kemashlahatan menjaga agama dalam kasus seperti ini belum dapat dipastikan.

Al’Izzu bin Abdul Salam menyatakan keharaman melakukan jihad (perang) dalam kondisi seperti ini :
"Apabila tidak terjadi kerugian, maka wajib mengalah (tidak melakukan perlawanan), karena (perlawanan dalam situasi seperti ini) akan mengakibatkan hilangnya nyawa, di samping menyenangkan orang-orang kafir yang menghinakan para pemeluk agama Islam. Perlawanan seperti ini menjadi mafsadah (kerugian) semata , tidak mengandung maslahat.“

Saya berkata: “Mendahulukan kemaslahatan jiwa di sini hanya dari sepi lahiriyah saja. Akan tetapi pada hakekatnya juga merupakan kemaslahatan agama. Sebab kemaslahatan agama (dalam situasi seperti ini) memerlukan keselamatan nyawa kaum Muslimin agar mereka dapat melakukan jihad pada medan-medan lain yang masih terbuka. Jika tidak, maka kehancuran mereka dianggap sebagai ancaman terhadap agama itu sendiri, dan pemberian peluang kepada orang-orang kafir untuk menerobos jalan yang selama ini tertutup."

Singkatnya, wajib mengadakan perdamaian atau merahasiakan dakwah apabila tindakan menampakkan dakwah atau perang itu akan membahayakan dakwah Islamiyah. Sebaliknya tidak boleh merahasiakan dakwah apabila bisa dilakukan dengan cara terang-terangan dan akan memberikan faedah. Tidak boleh mengadakan perdamaian dengan orang-orang yang dzalim dan memusuhi dakwah, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan pertahanan. Juga tidak boleh berhenti memerangi orang-orang kafir di negeri mereka, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan sarana untuk melakukannya.

2. Orang-orang ynag Pertama Masuk Islam dan Hikmahnya.

Sirah menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang masuk Islam para marhala (tahapan) ini kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang fakir, lemah dan kaum budak. Apa hikmah dari kenyataan ini ? Apa rahasia tegaknya Daulah Islamiyah di atas pilar-pilar yang terbentuk dari orang-orang seperti mereka ini ?
Jawabannya, bahwa fenomena ini merupakan hasil alamiah dari dakwah para Nabi pada tahapannya yang pertama. Tidakkah anda perhatikan bagaimana kaum Nuh mengejeknya karena orang-orang yang mengikutinya hanyalah orang-orang kecil mereka ?
"Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja .... " QS Hud:27

Tidakkah anda perhatikan bagaimana Fir’aun dan para pendukungnya memandang rendah para pengikut Musa as sebagai orang-orang ynag tertindas sampai Allah menyebutkan mereka setelah menceritakan kehancuran Fir’aun dan para pendukungnya ?
"Dan kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah kami beri berkah padanya .“ QS al-A'raf : 37

Tidakkah anda perhatikan bagaimana kelompok elite kaum Tsamud menolak nabi Shaleh, dan hanya orang-orang tertindas di antara mereka yang mau beriman kepadanya , hingga Allah mengatakan tentang mereka di dalam firman-Nya :
"Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka, “Tahukah kamu, bahwa Shalih diutus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?“ Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shalih diutus untuk menyampaikannya.“ Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak percaya kepada yang kamu imani itu.“ QS al-A’raf : 75-76

Sesungguhnya hakekat agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah ialah menolak kekuasaan dan pemerintahan manusia, dan kembali kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah semata. Hakekat ini terutama sekali bertentangan dengan "ketuhanan“ orang-orang yang mengaku sebagai "tuhan“. Dan kedaulatan orang-orang ynag mengaku berdaulat. Dan terutama sekali, sesuai dengan keadaan orang-orang yang tertindas dan diperbudak. Sehingga reaksi penolakan terhadap ajakan untuk berserah diri kepada Allah semata datang terutama dari orang-orang yang mengaku berdaulat tersebut. Sementara orang-orang yang tertindas menyambut dengan baik.

Hakekat ini nampak dengan jelas dalam dialog yang berlangsung antara Rustum, komandan tentara Persia pada perang al-Qadisiyah, dan Rabi’ bin Amir, seorang prajurit biasa di jajaran tentara Sa’d bin Abi Waqqash. Rustum berkata kepadanya: “Apa yang mendorong kalian memerangi kami dan masuk ke negeri kami?“ Rabi’ bin Amir berkata: “Kami datang untuk mengeluarkan siapa saja dari penyembahan manusia kepada penyembahan Allah semata.“ Kemudian melihat barisan manusia di kanan dan kiri Rustum tunduk dan ruku’ kepada Rustum, Rabi’ berkata dengan penuh keheranan, “Selama ini kami mendengar tentang kalian hal-hal yang mengagumkan, tetapi aku tidak melihat kaum yang lebih bodoh dari kalian. Kami kaum Muslimin tidak saling memperbudak antara satu dengan lainnya. Aku mengira bahwa kalian semua sederajat sebagaimana kami. Akan tetapi lebih baik dari apa yang kalian perbuat jika kalian jelaskan kepadaku bahwa sebagian kalian menjadi tuhan bagi sebagian yang lain.“

Mendengar ucapan Rabi’ ini orang-orang yang tertindas antara mereka saling berpandangan seraya berguman, “Demi Allah, orang Arab ini benar.“ Tetapi bagi para pemimpin, ucapan Rabi’ ini ibarat geledek yang menyambut mereka, sehingga slah seorang di antara mereka berkata: “Dia telah melemparkan ucapan yang senantiasa dirindukan oleh para budak kami.“

Tetapi ini tidak berarti bahwa keislaman orang-orang yang tertindas itu tidak bersumber dari keimanan, bahkan bersumber dari kesadaran dan keinginan untuk bebas dari penindasan dan kekuasaan para tiran. Sebab baik para tokoh Quraisy maupun kaum tertindasnya sam-sama berkewajiban mengimani Allah semata, dan membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad saw. Tidak seorang pun dari mereka kecuali mengetahui kejujuran Nabi saw dan kebenaran apa yang disampaikan dari Rabb-Nya. Kaum elite dan para tokoh tidak tunduk dan mengikuti Nabi saw karena dihalangi oleh faktor gengsi kepemimpinan mereka. Contoh yang paling nyata adalah pamannya, Abu Thalib. Sedangkan kaum tertindas dan lemah dengan mudah mau menerimannya dan mengikuti Nabi saw, karena mereka tidak dihalangi oelh sesuatu apapun. DI samping bahwa keimanan kepada Uluhiyah Allah akan menumbuhkan rasa izzah (wibawa) pada diri seseorang, dan menghapuskan rasa gentar kepada kekuatan selain dari kekuatan-Nya. Perasaan yang merupakan buah keimanan kepada Allah ini, pada waktu yang sama, memberikan kekuatan baru dan menjadikan pemiliknya merasakan kebahagiaan.

Dari sini kita dapat mengetahui besarnya kebohongan yang dibuat oleh para musuh Islam di masa sekarang. Ketika mereka mengatakan dakwah yang dilakukan oleh Muhammad saw hanyalah berasal dari inspirasi lingkungan Arab tempat ia hidup. Dengan kata lain, dakwah Muhammad saw hanya mencerminkan gerakan pemikiran Arab di masa itu.

Seandainya demikian, hasil dakwah selama tiga tahun tersebut tidak hanya berjumlah empat puluh orang lelaki dan wanita. Dan kebanyakan mereka adalah kaum fakir, tertindas dan budak. Bahkan ada yang berasal dari negeri asing, yaitu Shuhaib ar-Rumi dan Bilal al-Habasyi.

Bahwa lingkungan Arab itu sendirilah yang justru memaksa Nabi saw untuk melakukan hijrah dari negerinya dan memaksa pengikutnya berpencar-pencar, bahkan pergi hijrah ke Habasyiah. Ini semua karena kebencian lingkungan tersebut terhadap dakwah yang mereka tuduh sebagai nasionalis Arab.

Sabtu, 10 Desember 2011

Kewajiban Orangtua Terhadap Anak

            Bukan saja sang anak, orang tua pun mempunyai kewajiban terhadap anak yang harus ditunaikan. Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah sebuah wujud aktualitas hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua.
1. Anak mempunyai hak untuk hidup
Allah berfirman:
          ‘Janganlah kamu membunuh anak anakmu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizqi kepadamu dan kepada mereka.’ ( QS. Al-An’am: 151)
          Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa orang tua mempunyai kewajiban agar anak tetap bisa hidup betapapun susahnya kondisi ekonomi orang tua. Ayat itu juga memberi jaminan kepada kita bahwa Allah pasti akan memberikan rizqi baik kepada orang tua maupun sang anak, asalkan tentu saja berusaha.
2. Menyusui
          Wajib atas seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah yang artinya: Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS AI Baqarah: 233)
          Allah berfirman, yang artinya:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. lbunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkanya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (QS Al Ahqaf 15).
          Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan berkata,
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Maksudnya, adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih.”
Allah ta’ala berfirman; “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah tambah, dan menyapihnya dalamdua tahun…dst” . ( QS: 31; 14 ).
          Air  susu dalam beberapa hari kelahiran  mempunyai beberapa kelebihan, antara lain mengandung zat antibody yang sangat diperlukan oleh bayi. Bayi yang memperoleh air susu jenis ini akan mempunyai daya kekebalan tubuh yang lebih baik. Seorang ibu diwajibkan untuk menyusui anaknya sampai 2 tahun penuh, kecuali ada alas an yang dapat diterima oleh  hokum Islam. Menyusui anak sampai dua tahun ini akan menumbuhkan pengaruh positif terhadap sang anak baik secara fisik maupun secara jiwani.
3. Memberi Nama yang Baik         
          Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak itu ada tiga, yakni: pertama, memberi nama yang baik ketika lahir. Kedua, mendidiknya dengan al-Qur’an dan ketiga, mengawinkan ketika menginjak dewasa.”       Rasulullah saw diketahui telah memberi perhatian yang sangat besar terhadap masalah nama. Kapan saja beliau menjumpai nama yang tidak menarik (patut) dan tak berarti, beliau mengubahnya dan memilih beberapa nama yang pantas. Beliau mengubah macam-macam nama laki-laki dan perempuan. Seperti dalam hadits yang disampaikan oleh Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw biasa merubah nama-nama yang tidak baik. (HR. Tirmidzi).
          Beliau sangat menyukai nama yang bagus. Bila memasuki kota yang baru, beliau menanyakan namanya. Bila nama kota itu buruk, digantinya dengan yang lebih baik. Beliau tidak membiarkan nama yang tak pantas dari sesuatu, seseorang, sebuah kota atau suatu daerah. Seseorang yang semula bernama Ashiyah (yang suka bermaksiat) diganti dengan Jamilah (cantik), Harb diganti dengan Salman (damai), Syi’bul Dhalalah (kelompok sesat) diganti dengan Syi’bul Huda (kelompok yang benar) dan Banu Mughawiyah (keturunan yang menipu) diganti dengan Banu Rusydi (keturunan yang mendapat petunjuk) dan sebagainya (HR. Abu Dawud dan ahli hadits lainAn-Nawawi, Al Azkar: 258)
          Berkenaan dengan nama-nama yang bagus untuk anak, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kamu sekalian, maka perbaguslah nama kalian.” (HR.Abu Dawud)
          Pemberian ‘nama yang baik’ bagi anak adalah awal dari sebuah upaya pendidikan terhadap anak anak. Ada yang mengatakan; ‘apa arti sebuah nama’. Ungkapan ini tidak selamanya benar. Islam mengajarkan bahwa nama bagi seorang anak adalah sebuah do’a. Dengan memberi nama yang baik, diharapkan anak kita berperilaku baik sesuai dengan namanya. Adapun setelah kita berusaha memberi nama yang baik, dan telah mendidiknya dengan baik pula, namun anak kita tetap tidak sesuai dengan yang kita inginkan, maka kita kembalikan kepada Allah s.w.t. Nama yang baik dengan akhlaq yang baik, itulah yang kita harapkan. Nama yang baik dengan akhlaq yang buruk, tidak kita harapkan. Apalagi nama yang buruk dengan akhlaq yang buruk pula. Celaka berlipat ganda.
4. Mengaqiqahkan Anak 
Menurut keterangan A. Hasaan ‘aqiqah adalah; ‘ menyembelih kambing untuk (bayi) yang baru lahir, dicukur dan diberi nama anak itu, pada hari ketujuhnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda; ‘Tiap tiap seorang anak tergadai dengan ‘aqiqahnya. Disembelih (‘aqiqah) itu buat dia pada hari yang ketujuhnya dan di cukur serta diberi nama dia.’ (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Imam yang empat dan dishahihkan oleh At Tirmidzy, hadits dari Samurah ).
5. Mendidik  anak
Pada suatu kesempatan, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab kehadiran seorang tamu lelaki yang mengadukan kenakalan anaknya, “Anakku ini sangat bandel.” tuturnya kesal. Amirul Mukminin berkata, “Hai Fulan, apakah kamu tidak takut kepada Allah karena berani melawan ayahmu dan tidak memenuhi hak ayahmu?” Anak yang pintar ini menyela. “Hai Amirul Mukminin, apakah orang tua tidak punya kewajiban memenuhi hak anak?”
Umar ra menjawab, “Ada tiga, yakni: pertama, memilihkan ibu yang baik, jangan sampai kelak terhina akibat ibunya. Kedua, memilihkan nama yang baik. Ketiga, mendidik mereka dengan al-Qur’an.”
Mendengar uraian dari Khalifah Umar ra anak tersebut menjawab, “Demi Allah, ayahku tidak memilihkan ibu yang baik bagiku, akupun diberi nama “Kelelawar Jantan”, sedang dia juga mengabaikan pendidikan Islam padaku. Bahkan walau satu ayatpun aku tidak pernah diajari olehnya. Lalu Umar menoleh kepada ayahnya seraya berkata, “Kau telah berbuat durhaka kepada anakmu, sebelum ia berani kepadamu….”
Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah. Dia senantiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlak yang baik, yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia. Mendidik anak bukanlah (sekedar) kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang diberikan Allah kepada seorang ibu.
Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya, seperti (misalnya) mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja. Bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang diharapkan menjadi generasi tangguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan.
Berikut beberapa perkara yang wajib diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-anaknya: Menanamkan aqidah yang bersih, yang bersumber dari Kitab dan Sunnah yang shahih.
Allah berfirman yang artinya:
Maka ketahuilah bahwa sesugguhnya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah. (QS Muhammad: 19)
Rasulullah bersabda, yang artinya:
Dari Abul Abbas Abdullah bln Abbas, dia berkata: Pada suatu hari aku membonceng di belakang Nabi, kemudian beliau berkata, ‘Wahai anak, Sesungguhnya aku mengajarimu beberapa kalimat, yaitu: jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapatiNya di hadpanmu. Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau mohon pertotongan, maka mohonlah pertotongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberimu satu bahaya, niscaya mereka tidak akan bisa membahayakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan tinta telah kering.” 3
Dan dalam riwayat lain (Beliau berkata),
“Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatiNya di hadapanmu. Perkenalkanlah dirimu kepada Allah ketika kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu saat kesulitan. Ketahuilah, apa-apa yang (ditakdirkan) luput darimu, (maka) tidak akan menimpamu. Dan apa-apa yang (ditakdirkan) menimpamu, ia tidak akan luput darimu. Ketahuilah, bahwa pertolongan ada bersama kesabaran, kelapangan ada bersama kesempitan, dan bersama kesusahan ada kemudahan.” 
4
Seorang anak terlahir di atas fitrah, sebagaimana sabda Rasulullah maka sesuatu yang sedikit saja akan berpengaruh padanya. Dan wanita muslimah adalah orang yang bersegera menanamkan agama yang mudah ini, serta menanamkan kecintaan tehadap agama ini kepada anak-anaknya.
(Sumber: Urip Santoso.Wordpress)

Alam Kubur

Tahapan-tahapan Kehidupan
            Manusia adalah makhluk Allah SWT yang diciptakan dari [1] tanah (at-turab) dan ruh. Allah SWT membekalinya dengan hati, akal dan jasad, sehingga manusia memiliki tekad (al-‘azmu), ilmu dan amal. Dengan berbekal ketiganya manusia diberi amanah oleh Allah SWT, sebuah amanah yang makhluk-makhluk lain yang besar-besar, jauh lebih besar dari manusia, seperti langit, bumi dan gunung-gunung, menolak untuk menerimanya (33:72). Amanah yang diterima manusia berupa ibadah (51:56) yang merupakan tujuan penciptaannya dan khilafah (2:30) yang merupakan fungsi manusia di dunia. Kedua amanah ini kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir.
            Sesungguhnya manusia hidup bukan hanya di dunia saja, tetapi telah menjalani kehidupan lain sebelum ke dunia dan akan menjalani kehidupan lainnya lagi setelah di dunia. Itulah tahapan-tahapan kehidupan manusia. Allah SWT berfirman:
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati (1), lalu Allah menghidupkan kamu (2), kemudian kamu dimatikan (3) dan dihidupkan-Nya kembali (4), kemudian kepada-Nya-lah kamu.” (2:28).
Secara garis besar penjelasan ayat di atas ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1 Mengapa kamu kafir kepada Allah??
No
Potongan Ayat
Keterangan
1
padahal kamu tadinya mati
Mati
2
lalu Allah menghidupkan kamu
Hidup
3
kemudian kamu dimatikan
Mati
4
dan dihidupkan-Nya kembali
Hidup
5
kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan
Dikembalikan
Secara lebih rinci, seluruh tahapan kehidupan yang telah dan akan dialami manusia ditunjukkan oleh Tabel 2. Seluruh manusia akan mengalami 14 (empatbelas) alam, dari alam ruh hingga surga/neraka. 11 alam di antaranya adalah alam setelah manusia mati. Sungguh perjalanan yang sangat panjang menuju surga/neraka.



Tabel 2 Seluruh tahapan kehidupan manusia
AYAT 
ALAM ANTARA
ALAM UTAMA
padahal
 kamu tadinya mati

1) Alam Kesatu : ALAM ROH /ALAM ARWAH
yakni alam Awal manusia diciptakan dan tidak ada satupun manusia mengetahuinya karena bagi Allah SWT tidak ada batas Ruang / Waktu dan Tempat
lalu Allah menghidupkan kamu
2) Alam Kedua : ALAM RAHIM
yakni alam dimana manusia tercipta melalui suatu proses pembenihan di dalam Rahim/ kandungan yang lamanya sudah ditentukan 9 bulan
3) Alam Ketiga : ALAM DUNIA
yakni alam ujian sebagaimana yang kita sedang alami bersama sekarang ini.
kemudian  kamu dimatikan
4) Alam Keempat : ALAM SAKARATUL MAUT
yakni alam pada saat roh manusia dicabut oleh Allah swt yakni alam antara Dunia menuju alam kubur
5) Alam Kelima : ALAM KUBUR atau ALAM BARZAH,
yakni alam di mana manusia akan memperolah Siksa atau Nikmat kubur tergantung perbuatannya selama hidupnya di dunia sambil menunggu datangnya hari kiamat. Dan bagi yang memperoleh nikmat kubur,  mereka para ahlul kubur seperti tidur saja  layaknya
dan dihidupkan-Nya kembali
6) Alam Keenam : KIAMAT atau disebut AKHIR ZAMAN atau Yaumul Qiyamah yakni alam dimana Allah swt memusnahkan Bumi - mahluk hidup beserta seluruh isinya Lihat Situs kiamat
7) Alam Ketujuh: KEBANGKITAN
8) Alam Kedelapan : ALAM MASYHAR yakni alam dimana Manusia dibangkitkan kembali dari Alam Kubur oleh Allah swt serta berkumpul di Padang Masyhar dan masing masing manusia tidak mengenal satu sama lainnya
 kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan
9) Alam Kesembilan:  BALASAN
10) Alam Kesepuluh: DIHADAPKAN KEPADA ALLAH DAN PERHITUNGAN
11) Alam Kesebelas: KOLAM
12) Alam Keduabelas: TIMBANGAN
13) Alam Ketigabelas: JALAN
14) Alam Kesembilan : SORGA DAN NERAKA
a) ALAM SORGA: alam kenikmatan bagi manusia yang selamat setelah dihisab oleh Allah SWT
b) ALAM NERAKA: alam kesengsaraan/siksaan bagi manusia yang tidak selamat setelah dihisab oleh Allah SWT

Alam Kubur (Al-Barzakh)
            Alam kubur disebut juga alam barzakh (dinding), karena kubur adalah dinding yang memisahkan antara dunia dan akhirat. Di dalam al-Qur’an kata ”barzakh” disebut di tiga ayat, yaitu 23:100, 25:53 dan 55:20. Barzakh yang bermakna kubur terdapat pada surat 23:100. Allah SWT berfirman, ”Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” Sedangkan surat 25:53 dan 55:20 berkaitan dengan dinding pemisah antara dua lautan.
Allah SWT banyak menyebutkan tentang kubur di dalam al-Qur’an baik secara eksplisit maupun implisit, begitu pula Rasulullah SAW di dalam haditsnya yang mulia. Firman Allah SWT tentang alam kubur:
”dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (22:7).
”dan tidak sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (35:22)
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.” (60:13)
”pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala.” (70:43)
”kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.” (80:21)
Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur.” (100:9)
”sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (102:2)
”yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja.” (17:52)
”Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo'akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (9:84)
”Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.”  (23:16)
”Berkatalah orang-orang yang kafir:"Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak kita; apakah sesungguhnya kita akan dikeluarkan (dari kubur)?” (27:67)
”Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (43:11)
            Rasulullah SAW bersabda: ”Apabila seseorang dari kamu berada dalam keadaan tasyahhud, maka hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara dengan berdoa: yang bermaksud: Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon perlindungan kepadaMu dari siksaan Neraka Jahannam, dari siksa Kubur, dari fitnah semasa hidup dan selepas mati serta dari kejahatan fitnah Dajjal.”
            Dalam Lu’lu’ wal Marjan hadits no. 1822 – 1826 [4] disebutkan sabda Nabi SAW:
            ”Sesungguhnya seorang jika mati, diperlihatkan kepadanya tempatnya tiap pagi dan sore. Jika ahli sorga, maka diperlihatkan sorga, dan bila ia ahli nereka (maka diperlihatkan neraka). Maka diberitahu: Itulah tempatmu kelak jika Allah membangkitkanmu di hari kiamat.” (HR. Bukhori dan Muslim)
            ”Nabi SAW keluar ketika matahari hampir terbenam, lalu beliau mendengar suara, maka bersabda: Orang Yahudi sedang disiksa dalam kuburnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
            ”Sesungguhnya seorang hamba jika diletakkan dalam kuburnya dan ditinggal oleh kawan-kawannya, maka didatangi dua malaikat, lalu mendudukannya keduanya dan menanyakan: Apakah pendapatmu terhadap orang itu (Muhammad SAW)? Adapun orang beriman maka menjawab, ’Aku bersaksi bahwa dia hamba Allah dan utusanNya.’ Lalu diberitahu: Lihatlah tempatmu di api neraka, Allah telah mengganti untukmu tempat di sorga, lalu dapat melihat keduanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
            ”Seorang mu’min jika didudukkan dalam kuburnya, didatangi dua malaikat, kemudian dia mengucapkan, ’Asyhadu an laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah’ maka itulah arti firman Allah, ’Allah akan menetapkan orang yang beriman dengan kalimat yang kokoh (14:27)’.” (HR. Bukhori dan Muslim)
            ”Ketika selesai Perang Badr, Nabi SAW menyuruh supaya melemparkan dua puluh empat tokoh Quraisy dalam satu sumur di Badr yang sudah rusak. Dan biasanya Nabi SAW jika menang pada suatu kaum maka tinggal di lapangan selama tiga hari, dan pada hari ketiga seusai Perang Badr itu, Nabi SAW menyuruh mempersiapkan kendaraannya, dan ketika sudah selesai beliau berjalan dan diikuti oleh sahabatnya, yang mengira Nabi akan berhajat. Tiba-tiba beliau berdiri di tepi sumur lalu memanggil nama-nama tokoh-tokoh Quraisy itu: Ya Fulan bin Fulan, ya Fulan bin Fulan, apakah kalian suka sekiranya kalian taat kepada Allah dan Rasulullah, sebab kami telah merasakan apa yang dijanjikan Tuhan kami itu benar, apakah kalian juga merasakan apa yang dijanjikan Tuhanmu itu benar? Maka Nabi ditegur oleh Umar: Ya Rasulallah, mengapakah engkau bicara dengan jasad yang tidak bernyawa? Jawab Nabi: Demi Allah yang jiwaku di TanganNya, kalian tidak lebih mendengar terhadap suaraku ini dari mereka.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Allohu a'lam

Rabu, 30 November 2011

Manisnya Iman

Seseorang akan merasakan manisnya iman bermula manakala di dalam hatinya terdapat rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya, manisnya akan semakin dirasakan bila seseorang berusaha untuk senantiasa menyempurnakan cintanya kepada Allah, memperbanyak cabang-cabangnya (amalan yang dicintai Allah swt.) dan menangkis hal-hal yang bertentangan dengan kecintaan Allah swt.
Apa buktinya bila seseorang telah merasakan manisnya Iman?
Buktinya, ia akan selalu mengutamakan kecintaanya kepada Allah daripada mementingkan kesenangan dan kemegahan dunia, seperti bersenang-senang dengan keluarga, lebih senang tinggal di rumah ketimbang merespon seruan dakwah dan asyik dengan bisnisnya tanpa ada kontribusi sedikitpun terhadap kegiatan jihad di jalan Allah swt. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah : 24
“Katakanlah: “Jika bapa-bapak, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Memprioritaskan kecintaan kepada Allah akan melahirkan perasaan ridha
Bila seseorang senantiasa mengutamakan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya, daripada kepentingan dirinya sendiri, maka akan lahirlah sikap ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai din-nya dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Keridhaannya itu dibuktikan dengan selalu menghadiri halaqahnya, terlibat dengan kegiatan dakwah di lingkungannya dan menginfakkan sebagian harta dan waktunya untuk kemaslahatan tegaknya agama Allah swt.

Apa yang dirasakan oleh seseorang bila ia telah ridha terhadap Allah, agama dan Rasulnya?

Pertama, Ia akan merasakan “Istildzadz at-Thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah swt., baik dalam shalatnya, tilawah Qur’annya, pakaian dan pergaulan islaminya, perkumpulannya dengan orang-orang shaleh dan keterlibatannya dalam barisan dakwah

Kedua, Ia juga akan merasakan “Istildzadz al-masyaqat”, lezatnya menghadapi berbagai kesulitan dan kesusahan dalam berdakwah. Kelelahan, keletihan, dan hal-hal yang menyakiti perasaannya akibat celaan orang karena menjalankan syariat Islam, atau bahkan mencederai fisiknya, semua itu semakin membuatnya nikmat dalam berdakwah. Semua inilah yang akan senantiasa melahirkan manisnya Iman.

“Istildzaadz at-thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah ditunjukan oleh wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun wahyu yang memerintahkan mereka untuk berhijab dan menutrup auratnya, mereka langsung meresponnya dengan senang hati dan lapang dada, tanpa merasa berat sedikitpun. Aisyah ra. yang menjadi saksi mata atas hal ini berkata :
رَحِمَ الله ُنِسَاءَ اْلاَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَاتِ لَمَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِنَّ “وَلْيَضْرِبْنَ مِنْ جَلاَ بِيْبِهِنَّ عَلَى جُيُوْ بِهِنَّ” شَقَقْنَ مُرُوْطَهُنَّ فَلْيَخْتَمِرْنَ بِهَا
“Semoga Allah merahmati wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun kepada mereka ayat “hendaknya mereka mengenakan kain panjang (jilbab) sampai ke atas dada mereka,” mereka memotong kain-kain mereka, lalu mereka menjadikan kain-kain itu sebagai penutup kepalanya
Abu Ayub Ayub Al-Anshary, ketika mendengar seruan jihad, Dalam surat At-Taubah : 41
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”

Abu Ayub berseru kepada anak-anaknya, “Jahhizuuny! Jahhizuuny!” siapkan peralatan perangku!. Anak-anaknya membujuk agar bapaknya tidak perlu berangkat untuk berjihad, karena usianya sudah udzur, cukup di wakilkan saja oleh anak-anaknya. Abu Ayyub menolak bujukan anak-anaknya seraya berkata : “ketahuilah wahai anak-anakku, yang dimaksud ayat tersebut adalah خِفَافًالَكُمْ وَثِقَالاً لٍي , ringan bagi kalian berat bagiku, beliaupun tetap berangkat dan menemukan syahidnya dalam perjalanan jihad tersebut. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Sedangkan Lezatnya kesulitan (Istildzadz al-masyaqqah) dalam dakwah dirasakan oleh Rasulullah saw., ketika beliau menghadapi ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap ajaran Islam, sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat Thaif ketika Rasulullah saw. hijrah ke sana, yaitu pada saat Nabi menyampaikan dakwahnya, mengajak mereka untuk menerima ajaran Islam, tetapi tidak ada sedikitpun sambutan baik dari para tokoh mereka, bahkan dengan nada yang sangat melecehkan dan menyakitkan, mereka menanggapi dakwah Nabi seraya berkata,
“Coba kau robek kiswah ka’bah jika engkau memang benar-benar utusan Allah.”

Yang lainnya pun turut berkomentar,
“Apa tidak ada lagi orang yang lebih pantas diutus oleh Allah selain engkau?”
Dengan penuh kesabaran dan ketabahan Rasulullah saw. menerima kenyataan pahit tersebut, beliau tetap berlapang dada dan tidak mempermasalahkan tentang penolakan dan penentangan mereka. Oleh karena itu ketika malaikat penjaga gunung Alaihissalaam menawarkan kepada Nabi, bila beliau setuju ia akan mengangkat dua buah bukit yang ada di Thaif lalu ditimpakan kepada mereka, dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah saw. menanggapinya seraya berkata,
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka kelak orang-orang (generasi) yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.”

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamroh mengibaratkan manisnya iman dengan sebuah pohon, sebagaimana firman Allah :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (Ibrahim : 24)

Yang dimaksud kalimat dalam ayat tersebut adalah kalimatul ikhlas لا اله الا الله, batang pohonnya adalah pangkal iman, cabang dan rantingnya adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dedaunannya adalah kepedulian terhadap kebajikan, buahnya adalah amal ketaatan, rasa manisnya adalah ketika memetiknya, dan puncak manisnya adalah ketika matangnya sempurna saat dipetik, disitulah sangat terasa manisnya.
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ)). (رواه البخاري ومسلم وهذا لفظ مسلم).
Dari Anas ra, dari Nabi saw. bersabda, “Tiga perkara jika kalian memilikinya, maka akan didapati manisnya iman. (Pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya. (Kedua) agar mencintai seseorang semata-mata karena Allah swt. (Ketiga), tidak senang kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah swt, sebagaimana ketidak-senangannya dilempar ke dalam api neraka.” (HR Bukhar Muslim dengan redaksi Muslim)
عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((ذَاقَ طَعْمَ الإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً)) (رواه مسلم).
Dari Al-Abbas bin Abdil Muttalib, bahwasanya ia mendengar Rasulallah saw. bersabda, “Telah merasakan lezatnya iman seseorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR. Muslim)

Hadits ini sangat agung maknanya, termasuk dasar-dasar Islam, berkata para ulama, “Arti dari manisnya iman adalah mersakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah dan Rasul-Nya, lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam hadits tersebut Rasulullah saw. menjelaskan bahwa tiga perkara bila kalian berada di dalamnya maka akan didapati manisnya iman, karena sarat mendapatkan manisnya sesuatu adalah dengan mencintainya, maka barang siapa yang mencintai sesuatu dan bergelora cintanya, maka ketika berhasil mendapatkannya, ia akan merasakan manis, lezat dan kegembiraannya. Karena itu seorang mukmin yang telah mendapatkan manisnya iman yang mangandung unsur kelezatan dan kesenangan akan diiringi dengan kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Allah swt. Dan kesempurnan itu dapat diwujudkan dengan tiga hal.

Pertama : menyempurnakan cinta kepada Allah yaitu dengan menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari yang lainnya, karena cinta kepada Allah tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang lain-Nya

Kedua : menjadikan cinta kepada Allah menjadi pangkal dari cabang cinta kepada yang lain, yaitu mencintai orang lain semata-mata karena dan untuk Allah swt., sehingga dalam mencintai ia tetap mengikuti prosedur dan mekanisme cinta yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah, misalnya tidak berkhalwat, menyegerakan akad nikah dan menghindari perbuatan yang mendekati pada perzinahan. (tidak pacaran) (QS. 24 : 30-31, 33 : 59)
Menolak segala hal yang bertentangan dengan cinta-Nya, yaitu tidak menyukai hal-hal yang bertentangan dengan keimanan melebihi ketidaksukaannya bila dirinya dilemparkan ke dalam api neraka.
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قاَلَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلِايْمَانِ :اَلاْنِفْاَقُ مِنَ اُلاِقْتَارِ ، وَإِنْصَافُ النَّاسِ مِنْ نَفْسِكَ ، وَبذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ (رواه عبد الرزاق) علقه البخاري في (كتاب الايمان)
Amar bin Yasir berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya ia merasakan manisnya keimanan, berinfak dari kekikiran, bersikap adil terhadap manusia dari dirinya, dan mengupayakan keselamatan (salam) bagi alam.” (Diriwayatkan Abdurazzaq, Bukhari mencantumkannya di kitab Al-Iman).

Hadits yang dibawakan oleh Amar bin Yasir ra. tersebut di atas, juga menjelaskan tentang tiga hal yang dapat mendatangkan manisnya iman

Pertama : berinfak secukupnya, tidak berlebihan sehingga menzalimi hak-hak yang lainnya, tapi juga tidak kikir dengan hartanya

Kedua : bersikap objektif, tidak menghalanginya untuk berbuat baik dan adil kepada manusia, walaupun ada kaitannya dengan kepentingan diri sendiri, misalnya walaupun disakiti dan dizalimi oleh seseorang, tetapi tidaka menghalanginya untuk memaafkannya dan tetap berbuat baik kepadanya

Ketiga : Menebarkan kesejahteraan kepada seluruh alam semesta, memperjuangkan sesuatu demi kebaikan manusia dan seluruh makhluk lainnya, seperti dengan melakukan kegiatan amal siasi maupun amal khidam ijtima’i (kegiatan sosial)
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ يَجِدْ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلاِيْمَانِ : تَرْكُ اْلمِرَاءِ فيِ الْحَقِّ ، وَاْلكِذْبُ فِي اْلمُزَاحَةِ ، وَيَعْلَمُ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ. (رواه عبد الرزاق)
Ibnu Mas’ud juga berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya akan merasakan manisnya iman, menghindari perdebatan dalam hal kebenaran, tidak berdusta dalam bercanda, dan menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” (Diriwayatkan Abdurrazzaq).
عن أنس مرفوعا: “لاَ يَجِدُ عَبْدٌ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ حَتىَّ يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ … ” الحديث . أخرجه ابن أبي عاصم ( 247 ) بإسناد حسن عنه. (الألباني – السلسلة الصحيحة)
Dari Anas secara marfu’ mengatakan, “Tidaklah seorang hamba merasakan manisnya keimanan sehingga dia menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” Hadits tersebut dikeluarkan Ibnu Abi Ashim, hadits sahih dengan sanad yang baik, termaktub dalam silisilah hadits sahih karya Imam Albani.
(قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ) * وَالْغَضُّ عَنِ الْمَحَارِمِ يُوْجِبُ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ، وَمَنْ تَرَكَ شَيْئًا لِلّهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ، وَمَنْ أَطْلَقَ لَحَظَاتِهِ دَامَتْ حَسَرَاتُهُ. (فيض القدير 1/677).
“Katakanlah kepada mukmin laki-laki agar menahan pandangan mereka…” (An-Nur: 30). Yaitu menahan dari apa yang diharamkan Allah swt. pasti akan mendatangkan manisnya iman, dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, dan barangsiapa yang membebaskannya walau hanya sekejap maka akan abadi penyesalannya”
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَلاَ تَجِدُ امْرَأَةٌ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا عَلَى قَتَبٍ.” (المعجم الكبير للطبراني)
Dari Muadz bin Jabal berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Seandainya aku memerintahkan seseorang bersujud kepada yang lainnya, maka akan aku perintahkan isteri sujud kepada suaminya, karena hak-hak suami atasnya, dan tidaklah seorang wanita mendapatkan manisnya iman sehingga Ia menunaikan hak suaminya, walaupun suaminya memintanya, sedang Ia sedang berada di atas sekedupnya
قاَلَ اِبْنُ رَجَبْ فِي (فَتْحِ الْبَارِي: 1/27): فَإِذَا وَجَدَ اْلقَلْبُ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ أَحَسَّ بِمَرَارَةِ اْلكُفْرِ وَاْلفُسُوْقِ وَاْلعِصْيَانِ وَلِهَذَا قَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلاَم ُ: {رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ} [يوسف33].
Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul Bari 1/27 : “Maka apabila sebilah hati telah mendapatkan manisnya iman, maka ia akan sensitif merasakan pahitnya kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, karena itulah Nabi Yusuf AS berkata : “Ya Rabb! Penjari lebih aku sukai daripada apa yang mereka serukan kepadaku” (QS. Yusuf : 33)


Materi tarbiyah, dilengkapi bahan dari situs dakwatuna.com

Selasa, 15 November 2011

BI'TSAH


Ikhtila’ (Menyendiri) Di Gua Hira’

Mendekati usia empat puluh tahun, mulailah tumbuh pada diri Nabi saw kecenderungan
untuk melakukan ‘uzlah. Allah menumbuhkan pada dirinya rasa senang untuk melakukan
ikhtila’ (menyendiri) di gua Hira’ (hira’ adalah nama sebuah gunung yang terletak di sebelah
barat laut kota Mekkah). Ia menyendiri dan beribadah di gua tersebut selama beberapa malam.
Kadang sampai sepuluh malam, kadang lebih dari itu, sampai satu bulan. Kemudian beliau
kembali ke rumahnya sejenak hanya untuk mengambil bekal baru untuk melanjutkan Ikhtila’-
nya di gua Hira’. Demikianlah Nabi saw terus melakukannya sampai turun wahyu kepadanya
ketika beliau sedang melakukan ‘uzlah.

Beberapa Ibrah

‘Uzlah dilakukan Rasulullah saw menjelang bi’tsah (pengangkatan sebagai Rasul) ini
memiliki makna dan urgensi yang sangat besar dalam kehidupan kaum Muslim pada umumnya
dan pada da’i pada khususnya.

Peristiwa ini menjelaskan , bahwa seorang Muslim tidak akan sempurna keislamannya
betapapun ia telah memiliki akhlak-akhlak yang mulia dan melaksanakan segala macam ibadah
sebelum menyempurnakannya dengan waktu-waktu ‘uzlah dan khalwah (menyendiri) untuk
mengadili diri sendiri ( muhasabbah ‘n nafsi). Merasakan pengawasan Allah dan merenungkan
fenomena-fenomena alam semesta yang menjadi bukti keagungan Allah.

Ini merupakan kewajiban setiap Muslim yang ingin mencapai keislaman yang benar.
Apalagi bagi seorang penyeru kepada Allah dan penunjuk kepada jalan yang benar.
Hikmah dari program ‘uzlah ini ialah, bahwa tiap jiwa manusia memiliki sejumlah
penyakit yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan obat ‘uzlah dan mengadilinya dalam
suasana hening, jauh dari keramaian dunia. Sombong ‘ujub (bangga diri), dengki, riya’, dan cinta
dunia, kesemuannya itu adalah penyakit yang dapat menguasai jiwa , merasuk ke dalam hati,
dan menimbulkan kerusakan di dalam bathin manusia. Kendatipun lahiriahnya menampakkan
amal-amal shaleh dan ibadah-ibadah yang baik, dan sekalipun ia sibuk dengan melaksanakan
tugas-tugas dakwah dan memberikan bimbingan kepada orang lain.

Penyakit-penyakit ini tidak dapat diobati kecuali dengan melakukan ikhtila’ secara rutin
untuk merenungkan hakekat dirinya, penciptaannya dan sejauh mana kebutuhan kepada
pertolongan dan taufik dari Allah swt pada setiap detik kehidupannya. Demikian pula
merenungkan ihwal Pencipta. Dan betapapun tak bergunanya pujian dan celaan manusia.

Kemudian merenungkan fenomena-fenomena keagungan Allah, hari akhir, pengadilan,
besarnya rahmat dan pedihnya siksaan Allah. Dengan perenungan yang lama dan berulang-ulang
tentang hal-hal tersebut, maka penyakit-penyakit yang melekat pada jiwa manusia akan
berguguran. Hati menjadi hidup dengan cahaya kesadaran dan kejernihan. Tidak ada lagi
kotoran dunia yang melekat di dalam hatinya.

Hal lain juga sangat penting dalam kehidupan kaum Muslim pada umumnya dan para
pengemban dakwah pada khususnya, ialah pembinaan mahabbatu Illah tidak akan tumbuh dari
keimanan rasio semata. Sebab, masalah-masalah rasional semata tidak pernah memberikan
pengaruh ke dalam hati dan perasaan. Seandainya demikian niscaya para orientalis sudah
menjadi pelopor orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tentu hati mereka
menjadi hati yang paling mencintai Allah dan Rasul-Nya. Pernahkah anda mendengar salah
seorang ilmuwan yang telah mengorbankan nyawanya demi keimanan kepada sebuah rumus
matematika atau masalah aljabar ?

Sarana untuk menumbuhkan mahabbatu Ilahi setelah iman kepada-Nya ialah
memperbanyak tafakur tentang ciptaan dan nikmat-nikmat-Nya. Merenungkan betapa
keagungan dan kebesaran-Nya. Kemudian memperbanyak mengingat Allah dengan lisan dan
hati. Dan semuanya itu hanya bisa diwujudkan dengan ‘uzlah , khalwah dan menjauhi kesibukan-kesibukan
dunia dan keramaiannya pada waktu-waktu tertentu secara terprogram.

Jika seorang Muslim telah melakukannya dan siap untuk melaksanakan tugas ini, maka
akan tumbuh di dalam hatinya mahabbatu Ilahiyah ynag akan membuat segala yang besar
menjadi kecil. Melecehkan segala bentuk tawaran duniawi, memandang enteng segala gangguan
dan siksaan dan mampu mengatasi setiap penghinaan dan pelecehan. Itulah bekal yang harus
dipersiapkan oleh para penyeru kepada Allah. Karena bekal itulah yang dipersiapkan Allah
kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, untuk mengemban tugas-tugas dakwah Islamiyah.
Dorongan-dorongan spiritual di dalam hati, seperti rasa takut , cinta dan harap, akan
mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh pemahaman rasional semata.

Tepat sekali asy-Syatibi ketika membedakan dorongan-dorongan ini antara kebanyakan kaum
Muslimin yang masuk ke dalam ikatan pembebanan (taklif) dengan dorongan umumnya
keislaman mereka. Dan orang-orang tertentu yang masuk ke dalam ikatan pembebanan dengan
dorongan lebih kuat dari sekedar pemahaman rasional. Berkata Asy-Syatibi :
“Kelompok pertama keadaannya seperti orang yang beramal karena ikatan Islam dan iman
mereka semata. Kelompk kedua keadaannya seperti orang yang beramal karena dorongan rasa
takut dan harap atau cinta. Orang ang takut akan tetap bekerja kendatipun terasa berat. Bahkan
rasa takut terhadap sesuatu yang lebih berat akan menimbulkan kesabaran terhadap sesuatu
yang lebih ringan, kendatipun tergolong berat. Orang yang memiliki harapan akan tetap bekerja
kendatipun terasa sulit. Harapan kepada kesenangan akan menimbulkan kesabaran dalam
menghadapi kesulitan. Orang yang mencintai akan bekerja mengerahkan segala upaya karena
rindu kepada kekasih, sehingga rasa cinta ini mempermudah segala kesulitan dan mendekatkan
segala yang jauh.”

Mencari aneka sarana untuk mewujudkan dorongan-dorongan spiritual di hati ini
merupakan suatu keharusan. Jumhur Ulama menyebutkan dengan tasawuf, atau sebagian yang
lain seperti Imam Ibnu Taimiyah menyebutnya ilmu Suluh.

Khalwah yang dibiasakan Nabi saw menjelang bi’tsah ini merupakan salah satu sarana
untuk mewujudkan dorongan-dorongan tersebut.

Tetapi maksud khalwah di sini tidak boleh dipahami sebagaimana pemahaman sebagian
orang yang keliru dan menyimpang. Mereka memahaminya sebgai tindakan meninggalkan sama
sekali pergaulan dengan manusia dengan hidup dan tinggal di gua-gua.

Tindakan ini bertentangan dengan petunjuk Nabi saw dan praktik para sahabatnya.
Maksud khalwah di sini ialah sebagai obat untuk memperbaiki keadaan. Karena sebagai obat,
maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan kadar tertentu dan sesuai dengan keperluan. Jika
tidak , maka akan berubah menjadi penyakit yang harus dihindari.

Jika anda membaca tentang sebagian orang shaleh yang melakukan khalwat secara terus-menerus
dan manjauhi manusia, maka itu hanya merupakan kasus tertentu saja. Perbuatan
mereka tidak dapat dijadikan hujjah.

Permulaan Wahyu

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. menceritakan cara permulaan wahyu, ia
berkata :
“Wahyu pertama diterima oleh Rasulullah saw dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam
mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau
digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khalwah (‘uzlah). Beliau melakukan khalwat di gua
Hira’ melakukan ibadah selama beberapa malam, kemudian pulang kepada keluarganya
(Khadijah) untuk mengambil bekal. Demikianlah berulang kali hingga suatu saat beliau
dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira’. Pada suatu hari datanglah
Malaikat lalu berkata ,“ Bacalah“. Beliau menjawab,“ Aku tidak dapat membaca.“ Rasulullah
saw menceritakan lebih lanjut, Malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku
merasa lemah sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, „Bacalah“ Aku menjawab ,“
Aku tidak dapat membaca“ . Ia mendekati aku lagi dan mendekapku, sehingga aku merasa
tidak berdaya sama sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi,“ Bacalah“ Aku
menjawab,“ Aku tidak dapat membaca.“ Untuk yang ketiga kalinya ia mendekati aku dan
memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya ia berkata lagi,“
Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan .. menciptakan manusia dari segumpal
darah...“ dan seterusnya.

Rasulullah saw segera pulang daam keadaan gemetar sekujur badannya menemui
Khadijah lalu berkata ,“ Selimutilah aku ... selimutilah aku ..“ Kemudian beliau diselimuti
hingga hilang rasa takutnya. Setelah itu beliau berkata kepada Khadijah,“ Hai Khadijah ,
tahukah engkau mengapa aku tadi begitu ?“ Lalu beliau menceritakan apa yang baru dialaminya.

Selanjutnya beliau berkata :
“Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku (dari gangguan makhluk jin )”
Siti Khadijah menjawab :
“Tidak! Bergembiralah ! Demi Allah sesungguhnya tidak akan membuat anda kecewa. Anda
seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati
tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.”

Beberapa saat kemudian Khadijah mengajak Rasulullah saw pergi menemui Waraqah
bin naufal, salah seroang anak paman Siti Khadijah. Di masa jahiliyah ia memeluk agama
Nasrani. Ia dapat menulis huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam
bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan telah kehilangan penghilatannya.

Kepadanya Khadijah berkata :
“Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak- lelaki saudaramu
(yakni Muhammad saw )“. Waraqah bertanya kepada Muhammad saw,“ Hai anak saudaraku,
ada apakah gerangan ?“ Rasulullah saw , kemudian menceritakan apa yang dilihat dan dialami
di dalam gua Hira’. Setelah mendengar keterangan Rasulullah saw Waraqah berkata :“ Itu
adalah Malaikat ynag pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya seandainya aku
masih muda perkasa ! Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir
oleh kaummu! Rasulullah saw bertanya,“ Apakah mereka akan mengusir aku?“ Waraqah
menjawab ,“Ya“ Tak seorangpun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan
diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang akan kamu hadapi itu,
pasti kamu kubantu sekuat tenagaku.“ Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dan
untuk beberapa waktu lamanya Rasulullah saw tidak menerima wahyu.

Terjadi perbedaan pendapat tentang berapa lama wahyu tersebut terhenti. Ada yang mengatakan
tiga tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat yang lebih kuat ialah apa
yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa masa terhentinya wahyu tersebut selama enam bulan.

Tentang kedatangan Jibril yang kedua, Baihaqi meriwayatkan sebuah riwayat dari Jabir
bin Abdillah, ia berkata :“Aku mendengar Rasulullah saw berbicara tentang terhentinya wahyu.
Beliau berkata kepadaku:“ Di saat aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari
langit. Ketika kepada kuangkat , ternyata Malaikat yang datang kepadaku di gua Hira’“,
kulihat sedang duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku segera pulang menemui istriku dan
kukakatan kepadanya,“ Selimutilah aku , selimutilah aku ....selimutilah aku ....! Sehubungan
dengan itu Allah kemudian berfirman : “ hai orang yang berselimut, bangunlah dan beri
peringatan. Agungkanlah Rabb-mu , sucikanlah pakaianmu, dan jauhilah perbuatan dosa ....“
(QS Al Muddatsir)
Sejak itu wahyu mulai diturunkan secara kontinyu.

Beberapa Ibrah

Hadits permulaan wahyu ini merupakan asas yang menentukan semua hakekat agama
dengan segala keyakinan dan syariatnya. Memahami dan meyakini kebenarannya merupakan
persyaratan mutlak untuk meyakini semua berita gaib dan masalah syariat yang dibawa oleh
Nabi saw. Sebab hakekat wahyu ini merupakan satu-satunya faktor pembeda antara manusia
yang berpikir dan membuat syariat dengan akalnya sendiri, dan manusia yang hanya
menyampaikan (syariat) dari Rabb-nya tanpa mengubah dan mengurangi atau menambah.

Itulah sebabnya maka para musuh Islam memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap fenomena wahyu dalam kehidupan Rasulullah saw. Berbagai argumentasi mereka
kerahkan untuk menolak kebenaran wahyu, dan membiaskan dengan ilham (inspirasi) dan
bahkan dengan sakit ayan. Ini karena mereka menyadari bahwa masalah wahyu merupakan
sumber keyakinan dan keimanan kaum Muslim kepada apa yang dibawa oelh Muhammad saw
dari Allah. Jka mereka berhasil meragukan kebenaran wahyu, maka meraka akan berhasil
menolak segala bentuk keyakinan dan hukum ynag bersumber dari wahyu tersebut. Selanjutnya
mereka akan berhasil menggembangkan pemikiran bahwa semua prinsip dan hukum syariat
yang diserukan oleh Muhammad saw hanyalah bersumber dari pemikirannya sendiri.

Untuk merealisasikan tujuan ini, para musuh Islam tersebut berusaha menafsirkan
fenomena wahyu dengan berbagai penafsiran palsu. Mereka memberikan aneka penafsiran
palsu sesuai dengan seni imajinasi yang mereka rajut sendiri.

Sebagian menggambarkan bahwa Muhammad saw terus merenung dan berpikir sampai
terbentuk di dalam benaknya, secara berangsur-angsur, suatu aqidah yang dipandangnya cukup
untuk menghancurkan paganisme (watsaniyah). Ada pula yang mengatakan bahwa Muhammad
saw belajar al-Quran dan prinsip-prinsip Islam dari pendeta bahira. Bahkan ada yamg menuduh
Muhammad saw adalah orang yang berpenyakit syaraaf atau ayan.

Bila kita perhatikan tuduhan-tuduhan naif seperti ini, maka akan kita ketahui dengan
jelas rahasia Ilahi mengapa permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah saw dengan cara
yang telah kami sebutkan dalam hadits Bukhari di atas.

Mengapa Rasulullah saw melhiat Jibril dengan kedua mata kepalanya untuk pertama
kali, padahal wahyu bisa diturunkan dari balik tabir ?

Mengapa Rasulullah saw takut dan terkejut memahami kebenarannya, padahal cinta
Allah kepada Rasulullah saw dan pemeliharaan-Nya kepadanya semestinya cukup untuk
memberikan ketenangan di hatinya sehingga tidak timbul rasa takut lagi ?

Mengapa Rasulullah saw khawatir terhadap dirinya kalau-kalau yang dilihatnya di gua
Hira’ itu adalah makhluk halus dari jenis jin ?

Mengapa Rasulullah saw tidak memperkirakan bahwa itu adalah Malaikat utusan Allah?

Mengapa setelah itu wahyu terputus sekian lama hingga menimbulkan kesedihan yang
mendalam pada diri Nabi saw sampai timbul keinginannya sebagaimana riwayat Bukhari untuk
menjatuhkan diri dari atas gunung.

Pertanyaan-pertanyaan ini wajar dan alamiah sesuai dengan bentuk permulaan turunnya
wahyu tersebut. Dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini kelak, akan terungkap suatu
kebenaran yang dapat menghindarkan setiap orang yang berpikiran sehat dari perangkap para
musuh Islam yang pengaruh rajutan imajinasi palsu mereka.

Ketika sedang tenggelam dalam khalwatnya di gua Hira’ Rasulullah saw dikejutkan
oleh Jibril yang muncul dan terlihat di hadapannya seraya berkata kepadanya, „Bacalah“ Hal
ini menjelaskan bahwa fenomena wahyu bukanlah urusan pribadi yang bersumber dari inspirasi
atau intuisi. Tetapi merupakan penerimaan terhadap haqiqah kharijyah (kebenaran yang
bersumber dari luar) yang tidak ada kaintannya dengan inspirasi, pancaran jiwa, atau intuisi.

Dekapan Malaikat terhadapnya, kemudian dilepaskannya begitu terjadi sampai tiga kali, dan setiap kali
mengatakan „Bacalah“ merupakan penegasan terhadap hakikat wahyu ini. Di samping
merupakan penolakan terhadap setiap anggapan bahwa fenomena wahyu tidak lebih sekedar
intuisi.

Timbulnya rasa takut dan cemas pada diri Nabi saw ketika mendengar dan melihat Jibril,
sampai beliau menghentikan khalwatnya dan segera kembali pulang dengan hati gundah
merupakan bukti nyata bagi orang ynag berakal sehat bahwa Nabi saw tidak pernah sama sekali
merindukan risalah dibebankan-Nya untuk disebarkannya ke segenap penjuru dunia.

Dan bahwa fenomena wahyu ini tidak datang bersamaan ataupun menyempurnakan apa yang pernah
terlintas di dalam benaknya. Tetapi fenomena wahyu ini muncul secara mengejutkan dalam
hidupnya tanpa pernah dibayangkan sebelumnya. Rasa takut dan cemas tidak akan pernah
dialami oleh „orang yang telah merenung dan berpikir secara pelan-pelan sampai terbentuk di
dalam benaknya suatu aqidah yang diyakini akan menjadi dakwahnya“.

Selain itu, masalah inspirasi, intuisi, bisikan batin atau perenungan ke alam atas, tidak
mengundang timbulnya rasa takut dan cemas. Tidak ada korelasi antara perenungan dan
perasaan takut dan terkejut. Jika tidak demikian, tentu semua pemikir dan orang yang
melakukan kontemplasi akan selalu dirundung rasa takut dan cemas.

Anda tentu mengetahui bahwa perasaan takut, terkejut dan menggigilnya sekujur tubuh
tidk mungkin dapat dibuat-buat. Sehingga jelas tida dapat diterima jika ada orang yang
mengandaikan Rasulullah saw melakukan hal tersebut.

Keterkejutan dan kecemasan Nabi saw ini semakin nampak jelas pada keraguan beliau,
jangan-jangan yang dilihat dan yang mendekapnya di gua Hira’ itu adalah makhlul jin. Ini dapat
diperhatikan ketika Nabi saw berkata kepada Khadijah,“ Aku khawatir terhadap diriku,“ yakni
khawatir terhadap gangguan makhluk jin. Tetapi Khadijah segera menenangkannya, bahwa
beliau bukan tipe orang yang bisa diganggu oleh setan dan jin, karena akhlak dan sifat terpuji
yang dimilikinya.

Adalah mudah bagi Allah untuk menenangkan hati Rasul-Nya dengan menyatakan,
misalnya bahwa yang mengajaknya berbicara tersebut adalah Jibril. Ia adalah Malaikat Allah
yang datang mengabarkan bahwa Muhammad saw adalah Rasul Allah kepada manusia. Tetapi ,
hikmah Ilahiyah ingin menampakkan pemisahan total antara kepribadian Muhammad saw
sebelum dan sesudah bi’tsah. Di samping menjelaskan bahwa prinsip aqidah Islam atau
perundang-undangan Islam tidak pernah diolah di kepala Rasulullah saw dan tidak pernah
dibayangkan sebelumnya.

Kemudian ilham Allah kepada Khadijah untuk membawa Nabi saw menemui Waraqah
bin Naufal menanyakan permasalahannya, merupakan penegasan bahwa apa yang
mengejutkan itu hanyalah wahyu Ilahi yang pernah disampaikan kepada Nabi sebelumnya. Di
samping untuk menghapuskan kecemasan yang menyelubungi jiwa Rasulullah saw karena
menafsirkan apa yang dilihat dan didengarnya.

Terhentinya wahyu setelah itu selama enam bulan atau lebih, mengandung mu’jizat Ilahi
yang mengagumkan. Karena hal ini merupakan sanggahan yang paling tepat terhadap para
orientalis ynag menganggap wahyu sebagai produk perenungan panjang yang bersumber dari
dalam diri Muhammad saw.

Sesuai dengan kehendak Ilahi, Malaikat yang dilihatnya pertama kali di gua Hira’ itu
tidak muncul lagi sekian lama, sehingga menimbulkan kecemasan di hati Nabi saw. Kemudian
kecemasan itu berubah menjadi rasa takut terhadap dirinya, karena khawatir dimurkai Allah,
setelah dimuliakan-Nya denan wahyu lantaran suatu tindakan ynag dilakukannya. Sehingga
dunia yang luas ini serasa sempit bagi Nabi saw. Bahkan sampai akhirnya pada suatu hari
Malaikat ynag pernah dilihatnya di gua Hira’ itu muncul kembali, terlihat di antara langit dan
bumi seraya berkata ,“ Wahai Muhammad, kamu adalah utusan Allah kepada manusia.“
Dengan rasa takut dan cemas nabi saw sekali lagi kembali ke rumah, dimana kemudian
diturunkan firman Allah :

“Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berikan peringatan!“ (QS al-Muddatsir 1-2)

Sesungguhnya keadaan dan peristiwa yang dialami oleh Nabi saw ini membuat
pemikiran yang mengatakan bahwa wahyu merupakan intuisi sebagai suatu pemikiran gila.

Sebab untuk menumbuhkan inspirasi dan instuisi tidak perlu menjalani keadaan seperti itu.
Dengan demikian hadits, permulaan wahyu yang tersebut dalam riwayat shahih di atas
merupakan senjata yang menghancurkan segala serangan musuh-musuh Islam menyangkut
masalah wahyu dan kenabian Muhammad saw. Dari sini anda dapat memahami mengapa
permulaan penurunan wahyu dilakukan Allah sedemikian rupa.

Mungkin musuh-musuh Islam akan kembali bertanya :“ Jika wahyu ini diturunkan
kepada Muhammad saw. Dengan perantaraan Jibril, mengapa para sahabat tidak ada yang
melihat Malaikat tersebut?“

Jawabnya, bahwa untuk menyatakan keberadaan sesuatu tidak disyaratkan harus dapat
dilihat. Sebab penglihatan manusia itu terbatas. Apakah setiap sesuatu yang jauh dari jangkauan
penglihatan mata manusia itu bisa dikatakan tidak ada ? Adalah mudah bagi Allah untuk
memberikan kekuatan penglihatan kepada siapa saja yang tidak dapat dilihat oleh orang lain.
Berkenaan dengan masalah ini Malik bin Nabi mengatakan :
“Buta warna itu menjadi contoh bagi kita bahwa ada sebagian warna yang tidak dapat dilihat
oleh sebagian mata.” Juga ada sejumlah cahaya infra merah dan ultra ungu yang tidak dapat
dilihat oleh mata kita. Tetapi belum terbukti secara ilmiah apakah semua mata juga demikian.
Sebab , ada mata yang kurang atau terlalu sensitif.

Kemudian berlanjutnya wahyu setelah itu menunjukkan kebenaran wahyu, dan bukan
seperti yang dikatakan oleh musuh-musuh Islam sebagai fenomena kejiwaan. Ini dapat kita
buktikan dengan beberapa hal berikut :

1. Perbedaan yang jelas antara al-Quran dan al-Hadits Nabi saw memerintahkan para
sahabatnya agar mencatat al-Quran segera setelah diturunkan. Sementara untuk hadits ,
Nabi saw hana memerintahkan agar di hafal saja. Bukan karena hadits itu sebagai perkataan
dari dirinya sendiri yang tidak ada kaitannya dengan kenabian, tetapi karena al-Quran itu
diwahyukan kepadanya dengan makna dan lafadzhnya melalui Jibril, sedangkan hadits itu
maknanya dari Allah tetapi lafadzhnya dari Rasulullah saw. Nabi saw sering
memperingatkan para sahabat agar jangan sampai mencampuradukan kalam Allah dengan
sabdanya.

2. Nabi saw sering ditanya tentang beberapa masalah, tetapi beliau tidak langsung
menjawabnya. Kadang Nabi saw menunggu lama hingga apabila telah diturunkan suatu ayat
al-Quran mengenai apa yang ditanyakan tersebut, barulah Nabi saw memanggil si penanya
kemudian membacakan al-Quran ynag baru diturunkan itu. Kadang dalam beberapa hal Nabi
saw, melakukan tindakan tertentu, kemudian diturunkan beberapa ayat al-Quran , dan
kadang berupa teguran atau koreksi.

3. Rasulullah saw adalah seorang ummi. Tidak mungkin orang seperti ini dapat mengetahui
melalui meditasi peristiwa-peristiwa sejarah, seperti kisah Yusuf, ibu Musa, ketika
menghanyutkan anaknya di sungai, kisah Fir’aun dan lainnya. Semua ini termasuk hikmah
yang dapat diambil dari keadaanya sebagai seorang yang ummi :
 
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu Kitabpun, dan kamu tidak
pernah menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu, andaikan (kamu pernah membaca
dan menulis) benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari(mu)“ (QS Al-Ankabut : 48)

4. Kejujuran Nabi saw selama empat puluh tahun bergaul bersama kaumnya sehingga dikenal
di kalangan mereka sebagai orang yang jujur dan terpercaya, membuat kita yakin akan
kejujurannya terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, selama pengamatan terhadap
fenomena wahyu, pasti Nabi saw telah berhasil mengusir keraguan yang membayangi kedua
matanya atau pikirannya. Seolah ayat berikut ini merupakan jawaban terhadap penelitian dan
kajian yang pertama tentang wahyu :

„ Maka jika kamu (Muhammad ) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami
turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab
sebelum kami. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Rabb-mu , sebab
itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu“ (QS Yunus : 94)

Karena itu diriwayatkan bahwa setelah ayat ini diturunkan , Nabi saw bersabda :
„ Aku tidak lagi dan tidak akan bertanya lagi“
(Allohu a’lam)